iuh

sr

Monday, May 9, 2011

Pejuang Keluarga

Akhirnya dari kejauhan terlihat sosokmu yang sedikit layu
Kami bersorak menyambut kedatanganmu berharap kau membawa sesuatu
Tubuhmu lunglay, bajumu basah kuyup dengan air surga kelak
Apakah Bapak capek?
Saya bawakan teh manis hangat ya?
Jawabmu hanya senyuman manis yang diindahkan tetesan air mata
Sampai kapan kita akan terus begini Pak?
Dimana letak adil Tuhan kita?
Mungkin saya juga akan mengalami seperti Bapak sekarang ini ya?
Nanti juga kamu akan tahu jawabannya, Nak.
Jangan sampai aqidahmu berbelok ke jalur yang bukan semestinya
Ingatlah segala sesuatu dan semua hal ada akhirnya, ada pula indahnya
Pesanku,
Dzikirkan lisanmu
Selalulah bersyukur hatimu
Bersabarlah pada jasadmu
Kelak nanti dapatkanlah calon pendampingmu yang sholeh
Kalau sudah ketemu jawabannya yang sebenenarnya, pasti kamu akan mengingatku dan membersihkan makamku

Sunday, May 8, 2011

Sekilas Pengetahuan tentang Manajemen Pendidikan Luar Sekolah

a.   Filsafat Administrasi
Filsafat, kata ‘filsafat’ berasal dari bahasa Yunani, yaitu ‘philosophia’ . Kata philosophia merupakan gabungan dari dua kata yaitu philos dan sophia. Philos berarti sahabat atau kekasih, sedangkan sophia memiliki arti kebijaksanaan, pengetahuan, kearifan. Dengan demikian maka arti dari kata philosophia adalah cinta pengetahuan. Atau dengan kata lain bisa juga diartikan sebagai orang yang senang mencari ilmu dan kebenaran.
Administrasi  diartikan keseluruhan proses kerjasama antara dua orang manusia atau lebih yang didasarkan atas rasionalitas tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya, mengandung 3 unsur.
Berdasarkan dua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa filsafat administrasi adalah kesenangan dalam mencari ilmu ataupun kebenaran melalui proses kerjasama satu orang atau lebih untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditentukan sebelumnya . Filsafat administrasi dalam pelaksanaannya memperhatikan unsur managemen relation kepemimpinan dan human bicara filsafat administrasi mulai dari manusia dan berorientasi kepada manusia karena dimulai oleh manusia untuk kepentingan manusia dan diakhiri pula oleh manusia
Menurut Soewarno Handayaningrat (1996:2), dalam buku “Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Manajemen” adalah sebagai : Administrasi dalam arti sempit adalah suatu kegiatan yang meliputi catat, mencatat, surat menyurat, pembukuan ringan, ketik mengetik agenda dan sebagainya yang bersifat teknis ketatausahaan (clerical work). Sedangkan dalam arti luas adalah kegiatan kelompok manusia yang terdiri dari dua orang atau lebih yang melakukan kerjasama dengan bimbingan, kepemimpinan dan pengawasan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Dalam impelemntasinya pada program PLS, administrasi merupakan tugas-tugas tertentu yang harus dilaksanakan sendiri. Tugas-tugas itulah yang biasa disebut fungsi administrasi. Pada umumnya fungsi tersebut terdiri dari perencanaan, pengorganisasian, penggerak dan pengawasan. Semua fungsi administrasi tersebut merupakan suatu sistem yang saling terkait dan saling mempengaruhi dalam upaya mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan.
Sondang P. Siagian dalam buku “Filsafar Administrasi” mengutip beberapa pendapat para ahli mengenai fungsi administrasi, diantaranya:
1.      Henry Fayol, fungsi administrasi terdiri dari:
a.       Perencanaan (planning)
b.      Penggonisasian (organizing)
c.       Pemberian komando (commanding)
d.      Pengkoordinasian (coordinating)
e.       Pengawasan (controlling)
2.      Herlod Koontz dan Cyrill O’Donnet, fungsi administrasi terdiri dari:
a.       Perencanaan (planning)
b.      Pengorganisasian (organizing)
c.       Pengadaan tenaga kerja (staffing)
d.      Pemberian bimbingan (directing)
e.       Pengawasan (controlling)
3.      George R Terry, fungsi administrasi terdiri dari:
a.       Perencanaan (planning)
b.      Pengorganisasian (organizing)
c.       Penggerakan (actuating)
d.      Pengawasan (controlling)

b.   Manajemen
Manajeman dapat diartikan antara lain kemampuan atau keterampilan untuk memeproleh sesuatu hasil dalam rangka pencapaian tujuan melalui kegiatan-  kegiatan orang lain dengan demikian dapat dikatakan bahwa manajemen merupakan inti dari pada administrasi karena manajemen merupakan alat pelaksanaan utama daripada administrasi (unsur utamanya POAC)
Prof. Dr. H. Achmad Hufad, M.Ed., berbicara mengenai manajemen dalam tulisannya yang berjudul “Manajemen Kelembagaan dan Pembiayaan PAUD Non Formal”. Manajemen dapat diartikan kegiatan yang dilakukan bersama dan melalui orang-orang serta kelompok dengan maksud untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi. Berdasarkan pengertian tersebut, manajemen itu tidak bisa hanya dilakukan oleh sendiri, tetapi juga menyangkut berbagai pihak yang dilaksanakan dalam rangka mencapai tujujan secara bersama.
Pengertian lebih jauh bahwa manajemen itu merupakan serangkaian kegiatan merencanakan, mengorganisasikan, menggerakkan, mengendalikan dan mengembangkan terhadap segala upaya dalam mengatur dan mendayagunakan sumber daya manusia, sarana dan prasarana secara efisien dan efektif untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan.
Manajemen memiliki keragaman dalam segi pelaksanaan ataupun dalam penyusunan konsepnya termasuk model-model manajemen dilihat dari segi tahapannya. Maka dari itu dapat kita lihat mengenai tahapan-tahapan manajemen, di antaranya:
Model Kesatu
1. Rekonsiderasi    : Menganalisis yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah. Tahap ini perlu dilaksanakan yaitu upaya program yang akan dilaksanakan secara operasional sesuai dengan kebijakan pemerintah. Apabila sudah ada kesesuaian, maka akan memudahkan dalam pelaksanaannya karena tidak akan terjadi tumpang tindih antara program dengan program lainnya, atau program yang dilaksanakan tidak akan bertentangan dengan kebijakan pemerintah terserbut.
2. Pengamatan       : Mengidentifikasi dan menganalisis permasalahan dan potensi serta keadaan daerah yang akan dijadikan tempat kegiatan.
3. Persiapan           : Menyusun perencanaan berupa program kegiatan yang akan dilaksanakan diantaranya menyangkut faktor manusia, sarana, biaya dan tempat.
4. Pelaksanaan       : Melaksanakan kegiatan sesuai dengan program yang sudah direncanakan.
5. Evaluasi             : Mengevaluasi seluruh program, untuk mengetahui keberhasilan yang telah dicapai.
Model Kedua
1.   Perencanaan adalah proses yang sistematis dalam pengambilan keputusan tentang tindakan yang akan dilakukan pada waktu yang datang.
2. Pengorganisasian adalah usaha mengintegrasikan sumber-sumber manusiawi dan non manusiawi yang diperlukan ke dalam suatu kesatuan untuk melaksanakan kegiatan sebagaimana telah direncanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu.
3.   Penggerakan adalah upaya-upaya pimpinan untuk menggerakkan seseorang atau kelompok yang dipimpinnya, dengan menumbuhkan dorongan dalam dirinya untuk melaksanakan tugas atau kegiatan yang diberikan kepadanya dalam rangka mencapai tujuan organisasi.
4.   Pembinaan adalah upaya pengendalian secara profesional terhadap semua unsur organisasi, agar unsur-unsur tersebut berfungsi sehingga tujuan dapat terlaksana secara berdayaguna dan berhasilguna.
5.   Evaluasi adalah kegiatan sistematis untuk mengumpulkan, mengolah dan menyajikan data atau informasi yang diperlukan sebagai masukan untuk pengambilan keputusan.
6.   Pengembangan adalah upaya memperluas atau mewujudkan potensi-potensi, membawa suatu keadaan secara bertingkat kepada suatu keadaan yang telah baik.



 
c.   Kepemimpinan
Kepemimpinan atau juga leadership sangat berperan aktif dalam aplikasi sebuah pendidikan luar sekolah. Di dalamnya terdapat komponen-komponen yang dapat menunjang pelaksanaan sebuah rencana yang telah disusun dalam sebuah progrrm PLS dengan diikuti suatu manajemen dan adminitrasi yang sesuai dengan tujuan yang akan dicapai.
Siagian (2002 : 62) mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain (para bawahannya) sedemikian rupa sehingga orang lain itu mau melakukan kehendak pemimpin meskipun secara pribadi hal itu mungkin tidak disenanginya.
Nimran (2004 : 64) mengemukakan bahwa kepemimpinan atau leadership adalah merupakan suatu proses mempengaruhi perilaku orang lain agar berperilaku seperti yang akan dikehendaki.
Yang perlu diperhatikan adalah bahwa untuk dapat mengembangkan gaya kepemimpinan situasional ini, seseorang perlu memiliki tiga kemampuan khusus yakni:
a.    Kemampuan analitis (analytical skills), yakni kemampuan untuk menilai tingkat pengalaman dan motivasi bawahan dalam melaksanakan tugas.
b.    Kemampuan untuk fleksibel (flexibility atau adaptability skills), yaitu kemampuan untuk menerapkan gaya kepemimpinan yang paling tepat berdasarkan analisa terhadap siatuasi.
c.    Kemampuan berkomunikasi (communication skills), yakni kemampuan untuk menjelaskan kepada bawahan tentang perubahan gaya kepemimpinan yang Anda terapkan.
Ketiga kemampuan diatas sangat dibutuhkan bagi seorang pemimpin, sebab seorang pemimpin harus dapat melaksanakan tiga peran utamanya yakni peran interpersonal, peran pengolah informasi (information processing), serta peran pengambilan keputusan (decision making) (Gordon, 1996 : 314-315).

d.   Human Relation
Human relation  sering dikatakan  sebagai kelanjutan merupakan inti dari pada kepemimpinan. Didasari dan diakui bahwa di dalam setiap kegiatan administrasi, unsur manusia dan hubungan-hubungan antar manusia itu merupakan faktor yang menentukan sukses tidaknya proses administrasi itu dijalankan (human resources berbeda dengan non human resources)
Cabot dan Kahl (1967) : “Human Relations“ adalah suatu sosiologi yang konkret karena meneliti situasi kehidupan, khususnya masalah interaksi dengan pengaruh dan psikologisnya. Jadi, interaksi mengakibatkan dan menghasilkan penyesuaian diri secara timbal balik yang mencakup kecakapan dalam penyesuaian dengan situasi baru.
H. Bonner (1975) : interaksi adalah hubungan antara dua atau lebih individu manusia dan perilaku individu yang satu mempengaruhi, mengubah, dan memperbaiki perilaku individu lain atau sebaliknya.
“Human Relations“dalam arti luas : Komunikasi Persuasif yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain secara tatap muka dalam segala situasi dan dalam semua bidang kehidupan, sehingga menimbulkan kebahagiaan dan kepuasaan hati pada kedua belah pihak.
Suksesnya seseorang dalam melaksanakan “Human Relations” karena ia berkomunikasi secara etis, ramah, sopan, menghargai, dan menghormati orang lain.
Hubungan kemanusiaan ini dimaksudkan sebagai keseluruhan rangkaian hubungan, baik formal maupun informal, antara yang memimpin dan pihak yang dipimpin,  antar pihak yang memimpin, dan antar pihak yang dipimpin. Adanya hubungan kemausian yang dimaksudkan agar terbina kerjasama dalm suatu kesatuan yang kompak, tumbuhnya suasana kerja yang akrab dan serasi, serta terwujudnya situasi yang tinggi dalam melakukanmkegiatan untuk mencapai suatu tujuan.
Dalam hubungan kemanusiaan ini terjadi suatu proses pembinaan tingkah laku pihak yang dipimpin, baik perorngan atau kelompok oleh pihak yang memimpin. Pembinaan tingkah laku meliputi upaya memotivasi dan mengarahkan pihak yang memimpin agar mampu menggunakan pengetahuan, keerampilan, sikap, dan aspirasinya untuk mencapai tujuan. Kegiatan untyuk mempengaruhi keempat aspek tingkah laku itu akan memerlukan waktu dan intensitas pembinaan yang berbeda.
Kesimpulan : Proses interaksi melibatkan perasaan, kata yg diucapkan dalam komunikasi, mencerminkan perasaan dan sikap, proses penyesuaian diri. Hubungan antar manusia secara luas mencoba menemukan, mengidentifikasi masalah dan membahas untuk mendapatkan pemecahan masalah.

a.    Perlu dua pendekatan
Pendekatan administrasi dengan tata usaha dan asministrasi dengan manajemen. Contoh kecil, dimana ketika kita melakukan pengurusan dokumen-dokumen (paper work) di instansi, lembaga, atau kantor yang biasanya pada kantor pemerintah, kita akan selalu dimintai kompensasi atas pembuatan paperwork tersebut dengan istilah ‘biaya administrasi”, atau misalnya ketika kita akan berobat ke Rumah Sakit, maka kita akan diminta untuk mengurus administrasi terlebih dulu, yang maksudnya untuk registrasi pasien dan pembayaran biaya berobat. Kemudian ketika ada pekerja pada suatu pabrik yang meminta THR akan diminta menunggu keputusan dari manajemen dan lain sebagainya.  
b.  Mengapa manusia selalu berhadapan dengan masalah
Suatu karunia yang sangat besar apabila manusia diberikan oleh Tuhan suatu masalah, karena dibalik masalah itu Tuhan secara tidak langsung telah memberikan ilmu yang harus dicari oleh manusia tersebut sehingga dituntut untuk berpikir jernih, logis, rasional guna mencapai suatu pemecahan masalah yang sedang dihadapi. Sudah tentu dengan menemukannya pemecahan masalah tersebut manusia teraebut telah mendapat ilmu tambahan yang tidak pernah didapatkannya sebelumnya untuk menjadi manusia yang lebih baik. Semakin manusia itu mendapatkan masalah dan dapat menyelesaikannya maka semakin mantap pula kehidupan manusia itu setiap harinya.
Secara garis besarnya, masalah-masalah yang dihadapi individu bersumber dari dua faktor, yaitu faktor dari dalam diri individu sendiri dan faktor lingkungan. Ketika kehidupan masih relatif sederhana, masalah-masalah yang muncul pun cenderung bersifat sederhana, namun sejalan dengan perkembangan kehidupan manusia yang serba modern seperti sekarang ini, masalah-masalah yang muncul pun tampaknya semakin kompleks, termasuk di dalamnya masalah yang berkaitan dengan psikologis.
Bagaimana mengatasi masalah? Disinilah peranan administrasi dan management dalam menyelesaikan permasalahan. Dorongan untuk selalu berinteraksi dan bekerja sama selalu diperlukan, untuk mencari jalan keluar permasalahan hidup manusia. Jika semua dapat dilakukan secara terencana/terprogram hingga tercatat/teradministrasi, tentunya apa yang kita butuhkan atau perlukan dapat tercapai, walaupun rencana pertama tidak tercapai tetapi sudah menyiapkan alternative lainnya untuk mencapai tujuan tersebut, sehingga kemungkinan-kemungkinan kegagalan dapat diminimalisir.
Beberapa tips untuk menyelesaikan masalah :
  1. Bersikap realistis dan objek terhadap sesuatu yang dianggap masalah sehingga bisa melihat masalah secara proporsional.
  2. Jika Anda banyak menghadapi masalah, urutkan masalah-masalah tersebut berdasarkan skala prioritas penanganannya. Masalah-masalah yang dipandang ringan dan dapat diatasi sendiri secara cepat, segeralah selesaikan, kemudian coret dari daftar urutan masalah Anda. Jika menghadapi satu atau beberapa masalah yang dianggap berat, maka pikirkanlah apakah masih mungkin diselesaikan sendiri atau perlu bantuan pihak lain.
  3. Jika Anda menganggap masalah itu masih bisa ditanggulangi sendiri, gunakanlah cara-cara rasional dan logis (ilmiah) untuk menyelesaikannya. Permasalahan yang diselesaikan melalui cara-cara irrasional mungkin hanya akan menghasilkan kegagalan dan semakin memperparah keadaan.
  4. Jika Anda memandang perlu bantuan pihak lain, carilah orang yang tepat dan dapat dipercaya. Kesalahan dalam menentukan pihak orang lain untuk dilibatkan dalam masalah Anda, mungkin malah semakin menambah beban masalah Anda.
  5. Belajarlah kepada orang-orang yang telah berhasil menyelesaikan masalah-masalah yang serupa dengan masalah Anda dan temukan kunci suksesnya dalam menyelesaikan masalah
  6. Kesabaran dan kesungguhan Anda dalam menyelesaikan setiap masalah menjadi penting, karena mungkin apa yang Anda usahakan tidak langsung dapat menghasilkan penyelesaian secara cepat. Dengan kata lain, upaya penyelesaian masalah tidak seperti makan cabe rawit, begitu dimakan terasa pedasnya di lidah, dalam hal ini perlu waktu dan proses.
  7. Tentunya Anda harus tetap berdoa memohon pertolongan yang Maha Kuasa, sebagai kekuatan spiritual Anda, dan yakinkan dalam diri Anda bahwa setiap masalah pasti ada jalan keluarnya dan tuhan tidak akan memberikan masalah kepada seseorang diluar kemampuannya.
Singkatnya, bahwa dalam menyelesaikan suatu masalah dibutuhkan kecerdasan intelektual, emosional, sosial dan spiritual.
c.  Administrasi dan manajemen sebagai alternatif pemecahannya, berikut dengan salah satu contoh kecilnya
Administrasi dan manajemen merupakan dua kategori yang saling mempengaruhi dan berperan aktif dalam pemecahan suatu masalah:
1.        Dalam penerapan adminstrasi dan manajemen tidak dapat dipisahkan hanya kegiatannya yang dapat dibedakan.
2.        Adminmistrasi bersifat konsep menentukan tujuan dan kebijaksanaan umum secara menyeluruh sedangkan manajemen sebagai subkonsep yang bertugas melaksanakan semua kegiatan untuk mencapai tujuan dan kebijaksanaan yang sudah tertentu pada tingkat administrasi.
3.        Administrasi lebih luas dari pada manajemen karena manajemen sebagai salah satu unsur dan merupakan inti dari administrasi sebagai pelaksana yang bersifar operasional melainkan mengatur tindakan-tindakan pelaksanaan oleh sekelompok orang yang disebut "bawahan" jadi dengan manajemen administrasi akan mencapai tujuannya.
Sebagai contoh: kehidupan manusia yang tidak lepas dari kebutuhan, baik itu kebutuhan primer ataupun kebutuhan sekunder. Manusia merencanakan, memprogram, menyusun segala sesuatu yang akan dijadikan suatu usaha demi tercapainya suatu kebutuhan yang diinginkan. Cara/pengelolaan inilah yang disebut dengan manajemen. Orang harus mengusahakan dengan perbuatan-perbuatan yang nyata berusaha seorang diri maupun secara bekerja sama dengan perbuatan yang nyata, maka kebutuhan itu menjelma menjadi tujuan. Di dalam memenuhi kebutuhannya dalam banyak hal orang harus bekerja sama atau dengan kata lain orang harus melaksanakan suatu proses penyelenggaraan usaha kerja sama dalam mencapai tujuaannya. Proses penyelenggaraan inilah yang disebut dengan administrasi dan pada masyarakat moden yang makin berkembang ini makin penting pula tujuan-tujuan yang ingin dan hendak dicapainya maka makin baik dan tepat pula administrasi yang harus diarahkannya oleh karena itu makin penting pula kedudukan administrasi dan management sebagai konsep dan langkah oprasional kegiatan-kegiatan untuk mencapai tujuan tersebut.
d.  Pandangan James Burnham dan Charles A.Beard, dilengkapai dengan alasan
James Burnham tahun 1941 yang menekankan pentingnya kelompok manajerial di dalam perekonomian, dan tidak ada pemisahan yang tajam antara kelompok manajerial clan pejabat politik (Martin Albrow, 1989 : 100) Berdasarkan tulisan tersebut James memberi persamaan antara kekuasaan kelas para manajer dengan kelas para birokrasi negara. Masyarakat yang dibentuk dan diperintah oleh para birokrat akan menjadi masyarakat-masyarakat birokratis yang nantinya masyarakat tersebut akan menjadi birokrasi-birokrasi masyarakat yang patuh dan tunduk pada pengaruh sikap-sikap dan nilai-nilai para birokrat, karena adanya perubahan sikap dari masyarakat akan bergantung kepada pengaruh para birokrat. Hal ini akan cepat menjerat masyarakat akan runtuhya nilai-nilai demokrasi sehingga ada suatu pertentangan dengan nilainilai tersebut yang dianggap sebagai suatu problema yang memerlukan pemecahan.
Charles A. Beard berpendapat tidak ada abad modern selama ini yang lebih penting dari administrasi. Kelangsungan pemerintahan yang beradab akan sangat tergantung atas kemampuan untuk membina dan mengembangkan suatu filsafat administrasi yang memecahan masalah – masalah masyarakat modern.

a.  Bagaimana mengembangkan program-program untuk melayani kebutuhan belajar orang dewasa.
Knowles (1986) berpendapat bahwa kebutuhan belajar adalah kesenjangan yang dipersepsikan oleh peserta didik sendiri antara dimana mereka sekarang dan ke mana mereka ingin menuju. Jadi, di sini ada unsur penilaian diri dari peserta didik. Dengan kata lain, bahwa kebutuhan belajar ditentukan oleh peserta didik itu sendiri. Oleh karena itu, saat ini dikenal perencanaan partisipatori dalam arti perencanaan yang melibatkan semua orang yang berkepentingan (termasuk peserta didik) dalam perencanaan.
Dalam perkembangannya pendidikan orang dewasa saat ini lebih banyak menggunakan metode partisipatif, dimana semua pihak yang terkait dalam pendidikan dilibatkan dalam proses pendidikan mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasinya.
Prinsip Perencanaan Partisipatif
Prinsip perencanaan partisipatif adalah sebagai berikut (pidarta, 1988) :
a.     Hubungan dengan masyarakat. Antara lembaga pendidikan dengan masyarakat perlu ada hubungan yang harmonis, saling kerjasama, saling member, dan saling menerima.
b.    Partisipasi. Pihak yang layak diikutsertakan dalam perencanaan pendidikan harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1)      Tertarik akan masalah-masalah pendidikan
2)      Mau belajar dari ahli perencana pendidikan
3)      Memiliki kemampuan intelektual sebagai perencana
4)      Paham masalah pendidikan
5)      Merupakan anggota kelompok yang dapat bekerja efektif.
c.     Teknik kerja kelompok. Tiga teknik kerja kelompok yang dianjurkan: (1) pertemuan kelompok, (2) proses kelompok nominal, (3) teknik Delphi.
d.    Ramalan dan pembuatan program. Ramalah (forcasting) mempunyai arti: (1) ramalan yang terbatas, yakni perkiraan yang akan terjadi di organisasi pendidikan atau dalam masyarakat lingkungan lembaga pendidikan, dan (2) ramalan yang lebih luas, yakni perkiraan kegiatan atau program organisasinya yang sesuai dengan hasil ramalan terhadap lingkungannya.
e.     Pengambilan keputusan. Dalam hal ini yang berwenang mengambil keputusan adalah manajer tertinggi, tim manajer, atau pejabat lain yang ditunjuk. Dasar kekuatan pengambilan keputusan ada lima, yakni (1) paksaan, (2)  hadiah, (3) referensi, (4) peraturan/hukum dan (5) keahlian. Paksanaan dilakukan jika terpaksa dalam keadaan darurat. Hadiah diberikan kepada seseorang yang berprestasi. Keputusan berdasarkan referensi akan terjadi jika bawahan menyetujuinya. Peraturan akan berjalan jika sah menurut peraturan/hokum yang berlaku. Suatu keputusan disebut keputusan atas dasar keahlian jika keputusan dilakukan oleh seorang ahli.
b. Menata potensi yang tersedia dalam lingkungan alam dan sosial budaya
Untuk mempertahankan suatu potensi dalam sebuah lingkungan alam dan sosial budaya perlu diadakannya pendekatan secara spesifik kepada pendekatan orang dewasa. Ornag dewasa diperlukan kesadarannya yang sangat tinggi akan pentingnya suatu potensi. Orang dewasa lebih atraktif, aktif, mengerti, paham akan penjelasan yang diterimanya.
Di samping itu, orang dewasa dapat dibelajarkan lebih aktif apabila mereka merasa ikut dilibatkan dalam aktivitas pembelajaran, terutama apabila mereka dilibatkan memberi sumbangan pikiran dan gagasan yang membuat mereka merasa berharga dan memiliki harga diri di depan sesama temannya. Artinya, orang dewasa akan belajar lebih baik apabila pendapat pribadinya dihormati, dan akan lebih senang kalau ia boleh sumbang saran pemikiran dan mengemukakan ide pikirannya, daripada pembimbing melulu menjejalkan teori dan gagasannya sendiri kepada mereka. Pembelajaran orang dewasa perlu pula mendapatkan kepercayaan dari pembimbingnya, dan pada akhirnya mereka harus mempunyai kepercayaan pada dirinya sendiri. Tanpa kepercayaan diri tersebut, maka suasana belajar yang kondusif tak akan pernah terwujud. Orang dewasa memiliki sistem nilai yang berbeda, mempunyai pendapat dan pendirian yang berbeda. Dengan terciptanya suasana yang baik, mereka akan dapat mengemukakan isi hati dan isi pikirannya tanpa rasa takut dan cemas, walaupun mereka saling berbeda pendapat. Orang dewasa mestinya memiliki perasaan bahwa dalam suasana/ situasi belajar yang bagaimanapun, mereka boleh berbeda pendapat dan boleh berbuat salah tanpa dirinya terancam oleh sesuatu sanksi.
Bagi orang dewasa, terciptanya suasana belajar yang kondusif merupakan suatu fasilitas yang mendorong mereka mau mencoba perilaku baru, berani tampil beda, dapat berlaku dengan sikap baru dan mau mencoba pengetahuan baru yang mereka peroleh. Walaupun sesuatu yang baru mengandung resiko terjadinya kesalahan, namun kesalahan, dan kekeliruan itu sendiri merupakan bagian yang wajar dari belajar.
Pada akhirnya, orang dewasa ingin tahu apa arti dirinya dalam kelompok belajar itu. Bagi orang dewasa ada kecenderungan ingin mengetahui kekuatan dan kelemahan dirinya. Dengan demikian, diperlukan adanya evaluasi bersama oleh seluruh anggota kelompok dirasakannya berharga untuk bahan renungan, di mana renungan itu dapat mengevaluasi dirinya dari orang lain yang persepsinya bisa saja memiliki perbedaan.
c.  Upaya dalam menggabungkan humanisme dengan pragmatisme
Teori humanistik sangat mementingkan isi yang dipelajarinya dari pada proses belajar itu sendiri. Teori belajar ini lebih banyak berbicara tentang konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang dicita-citakan, serta tentang proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain, teori ini ditarik pada pengerian belajar dalam bentuknya yang paling ideal daripada pemahaman tentang proses belajar sebagaimana adanya, seperti yang selama ini dikaji oleh teori-teori belajar lainnya.
Teori pragmatis, memiliki sifat-sifat yang praktis tidak suka berbicara dan membahas sesuatu dengan teori-teori, konsep-konsep, dalil-dalil dan sebagainya. Bagi mereka, yang penting adalah aspek-aspek praktis, sesuatu yang nyata dan dapat dilaksanakan. Sesuatu hanya bermanfaat jika dapat dipraktekan. Teori, konsep dan dalil memang penting tetapi semua tidak ada gunanya apabila tidak dapat dengan mudah dilaksanakan. Bagi mereka, sesuatu adalah baik dan berguna jika dapat dipraktekan dan bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Dalam menggabungkan kedua pandangan antara humanisme dan pragmatisme, merupakan kemampuan seseorang untuk menjadi jembatan kedua pandangan tersebut. Konsep atau konten dari teori pendidikan luar sekolah, tidak dapat terlaksana dengan baik jika pada tataran oprasional jauh dari apa yang diharapkan. Sebagai contohnya, Pelaksanaan program pendidikan luar sekolah dilapangan, tidak akan terlaksana jika tidak didukung oleh teori-teori yang berkaitan dengan program tersebut, seperti teori manajemen, teori pemberdayaan masyarakat, teori life skill dan teori lainnya. Akibatnya jika tidak melihat dari sisi teori, akan terjadi pelaksanaan program tanpa standar, tidak ada acuan berarti, karena lepas dari visi misi program tersebut.
d. Ciri-ciri fasilitator yang ideal dan anggapannya dalam mengembangkan proses pembelajaran. 
Untuk membantu peserta didik dapat mengarahkan dirinya dalam belajar (berswa-arah), Tough (1972) dalam Soedomo (1989) menyarankan pendidik/fasilitator untuk bersikap:
(1) menghargai peserta didik, (2) menerima gagasan yang mungkin bertentangan dengan harapan yang diinginkan, (3) harus bekerja dengan latar awal yang menyenangkan, (4) memberi dorongan peserta didik dalam mengembangkan pribadinya, (5) mampu mengorganisasikan kelompok belajar, (6) menanggapi pertanyaan tidak dengan sikap emosional, (7) meningkatkan partisipasi peserta didik, (8) menumbuhkan prakarsa peserta didik, (9) empati, dan (10) menerima keterbatasan diri.
            Dari pendapat tersebut, sikap pendidik atau fasilitator yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut :
1.      Wajar (jujur, apa adanya, wajar, terus terang, konsisten dan terbuka)
2.      Mampu menghidupkan suasana.
3.      Respek, mempunyai pandangan positif terhadap peserta didik
4.      Komitmen terhadap kehadiran, bersedia menghadirkan diri secara penuh
5.      Membuka diri, bersedia menerima dan memberi pendapat
6.      Tidak menjadi ahli, menjawab setiap pertanyaan seolah-olah menjadi ahli dalam segala hal
7.      Tidak diskriminatif, memberi perhatian kepada semua peserta didik secara rata
8.      Humoris, akrab, menunjukan perhatian
9.      Membangkitkan keinginan belajar
10.  Tegas, menguasai kelas, membangkitkan rasa hormat
11.  Menerima gagasan yang mungkin bertentangan dengan harapan yang diinginkan
12.  Memberi dorongan peserta didik dalam mengembangkan pribadinya
13.  Mampu mengorganisasikan kelompok belajar
14.  Menumbuhkan prakarsa dan meningkatkan partisipasi peserta didik

a.  Konsep untuk memecahkan masalah tersebut
            Jumlah penduduk yang besar dan kaya akan sumber daya alam dan manusianya, harus dimanfaatkan semaksimal dan sebaik mungkin maka krisis yang ada akan dapat diatasi. Selain hal tersebut untuk tindak lanjut kedepannya adalah peningkatan mutu sumber daya manusia sebagai tongkat estafet kepemimpinan dari generasi sekarnag dan yang akan datang.
            Pendidikan sebagai dasar untuk meningkatkan mutu dalam tataran Pemberdayaan Manusia, maka penulis memberikan gambaran pemecahan masalahnya sebagai berikut:
1. Tenaga Kependidikan sebagai figur utama proses pendidikan
Masalah yang terjadi dalam dunia pendidikan merupakan masalah yang sangat mendesak untuk mendapatkan pemecahan. Sebab jika masalah tersebut dibiarkan agar lahir generasi-genarasi penerus yang yang tidak bisa diandalkan untuk menghadapi kompetisi global. Jika hal demikian betul-betul terjadi maka bangsa Indonesia akan semakin terpuruk.
Upaya memecahkan masalah pendidikan hendaknya dilakukan dengan menggunakan pendekatan sistem. Dengan pendekatan ini pendidikan dipandang sebagai suatu sistem, suatu kesatuan yang terdiri dari berbagai komponen yang saling berhubungan untuk mencapai suatu tujuan. Dari berbagai komponen system pendidikan, yaitu : peserta didik (raw input), instrumental input termasuk di dalamnya tenaga kependidikian, dan environmental input, dari perspektif manajemen pendidikan komponen tenaga kependidikan merupakan komponen yang penting untuk dibahas.
Sampai sekarang dan juga untuk waktu-waktu yang akan datang figur tenaga kependidikan, termasuk para guru,tutor, kepala sekolah, dosen, dan pimpinan perguruan tinggi merupakan komponen yang sangat penting dalam sistem pendidikan meskipun konsep yang dianut sekarang adalah pendidikan berpusat pada peserta didik. Fakta menunjukkan bahwa meskipun raw input berkualitas tetapi jika ada masalah pada tenaga kependidikan, baik secara kuantitas maupun kualitas akan menyebabkan rendahnya kualitas output .
Kenyataan sebagaimana tersebut di atas juga dipertegas dengan adanya fakta bahwa untuk menilai tingkat kelayakan atau kualitas institusi pendidikan salah satu komponen penting yang dijadikan sasaran adalah komponen tenaga kependidikan baik dari segi kuantitas dan terutama dari segi kualitas.
2. Tenaga kependidikan sebagai manajer pendidikan
Tenaga kependidikan, terutama kepala sekolah atau pimpinan institusi pendidikan merupakan manajer-manajer pendidikan. Sebagai manajer pendidikan tugas utama mereka adalah mengupayakan agar kegiatan pendidikan dapat menghasilkan tujuan-tujuan pendidikan secara efektif dan efisien, melalui proses yaitu manajemen pendidikan.
Menurut Terry (Ngalim Purwanto, 2006: 7), manajemen adalah suatu proses tertentu yang terdiri atas perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengawasan, yang dilakukan untuk menentukan dan mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dengan menggunakan manusia dan sumber daya lainnya. Jika proses tersebut dilakukan dalam bidang pendidikan dan untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan maka disebut sebagai manajemen pendidikan.
Manajemen merupakan inti dari administrasi (Ngalim Purwanto, 2006: 8). Sedangkan administrasi pendidikan adalah proses pengerahan dan pengintegrasian segala sesuatu, baik personil, spiritual, maupun matrial, yang bersangkuta paut dengan pencapaian tujuan pendidikan (Ngalim Purwanto, 2006: 3). Dengan demikian setiap tenaga kependidikan berperanan sebagai administrator. Dan sebagai administrator dirinya harus mampu berperan sebagai manajer pendidikan.
3. Masalah pendidikan dan kualitas manajemen pendidikan
Dari perspektif manajemen pendidikan, masalah pendidikan dapat terjadi jika kepala sekolah, para guru atau pengelola pendidikan, tidak mampu menjadi manajer-manajer pendidikan yang baik. Masalah tersebut bisa saja terjadi karena : a. dirinya tidak memiliki pengetahuan yang memadai mengenai konsep-konsep manajemen pendidikan, b.dirinya kurang memahami konsep-konsep dasar pendidikan, dan c. dirinya tidak atau kurang memiliki kemampuan dan karakteristik sebagai manajer pendidikan, sehingga tidak mampu menjalankan peran sesuai dengan statusnya. Masalah kualitas manajer pendidikan seperti itu bisa terjadi karena kesalahan dalam penempatan. Seorang yang sebenarnya belum atau tidak siap untuk menjadi pemimpin karena faktor tertentu dia diangkat menjadi kepala sekolah.
Masalah-masalah pendidikan juga dapat terjadi jika para pemimpin institusi pendidikan lebih banyak menempatkan dirinya sebagai kepala dan bukan sebagai pemimpin. Sebagai kepala mereka bertindak sebagai penguasa, hanya bertanggung jawab pada pihak atasan, dan melakukan tugas-tugas karena perimintaan atasan. Jika kepala sekolah lebih banyak bertindak sebagai kepala maka dirinya akan kesulitan memberdayakan semua personal yang ada agar tujuan pendidikan tercapai.
4. Solusi terhadap masalah pendidikan dengan manajemen kinerja guru
Jika masalah-masalah pendidikan disebabkan oleh faktor manajemen maka upaya yang paling tepat untuk mencegah dan mengatasi adalah dengan meningkatkan kualitas manajemen pendidikan. Kualitas manajemen dapat meningkat jika para manajer-manajer pendidikan berusaha untuk meningkatkan kemampuannya.
Seringkali terlontar pernyataan bahwa kualitas pendidikan sulit untuk ditingkatkan karena kurangnya dukungan dana. Namun ada fakta yang menunjukkan bahwa dana yang cukup bahkan lebih ternyata tidak berdampak pada peningkatan kualitas pendidikan. Hal demikian dapat terjadi karena kepala sekolah tidak atau kurang mampu memberdayakan semua sumber yang ada, khusunya sumber daya manusia. Demikian juga halnya dengan peranan guru di sekolah sebagai manajer pendidikan, hambatan yang terjadi adalah kurangnya kemampuan untuk memberdayakan semua sumber belajar yang ada agar tujuan pendidikan dapat tercapai.
Untuk mengatasi masalah di atas salah satu upaya yang dapat ditempuh adalah melalui peningkatan manajemen kinerja kepala sekolah dan guru. Dalam perspektif manajemen, agar kinerja guru dapat selalu ditingkatkan dan mencapai standar tertentu, maka dibutuhkan suatu manajemen kinerja (performance management) yang baik.
b.  Mengapa pengembangan PLS salah satu pemecahan pragmatis
Sesuai dalam PPNo.73/Tahun 1991, bahwa tujuan PLS dapat dirumuskan sebagai berikut;
1. Suplemen (penambah), maksudnya bahwa PLS dilihat dari pendidikan persekolahan berfungsi sebagai suplemen/ penambah terhadap kekurangan - kekurangan yang terdapat pada pendidikan persekolahan. Terutama penambahan terhadap mata pelajaran di sekolah yang dirasakan kurang.
2. Komplemen (pelengkap), Melengkapi peserta didik dengan memberikan pengalaman belajar yang tidak diperoleh dalam kurikulum pendidikan persekolahan, selama peserta didik bersekolah.
3. Substutusi (pengganti), maksudnya memberikan/ menyediakan kesempatan bagi mereka yang karena berbagai alasan tidak berkesempatan untuk memasuki pendidikan sekolah.
Menurut para pakar (Djudju Sudjana,2001) dan hasil penelitian dilapangan maka karakteristik (ciri-ciri) PLS antara lain, sebagai berikut :
1.      PLS disusun untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek, kebutuhan dirumuskan berdasarkan identifikasi kebutuhan peserta didik.
2.      Hasil kegiatan belajar langsung dirasakan nilainya bagi kebutuhan anak didik atau masyarakat.
3.      Program sangat pendek
4.      Untuk memenuhi kebutuhan sekarang, berorientasi pada kebutuhan yang dirasakan peserta didik/ warga belajar.
5.      Waktu kegiatan disesuaikan dengan kebutuhan.
6.      Menekankan pada praktek
7.      Presyaratan/ kualifikasi formal tidak diutamakan.
8.      Di selenggarakan di berbagai tempat yang lebih murah biayanya, serta dapat pula dilakukan di tempat khusus.
9.      Dihubungkan dengan kebutuhan masyarakat.
10.  Struktur fleksibel
11.  Menggunakan sumber dan teknologi
12.  Menggunakan sumber dengan cara memanfaatkan fasilitas dan tenaga yang ada di masyarakat.
13.  Pengawasan tidak terpusat, koordinasi berdasarkan keperluan yang melibatkan berbagai
14.  lembaga baik pemerintah maupun swasta.
15.  Situasi dan kondisi demokratis.
Tujuan/Relevansinya PLS dengan Kehidupan pada Umumnya:
Pakar pendidikan luar sekolah, Djudju Sudjana (1991), Sutaryat (1986) berpendapat bahwa tujuan pendidikan luar sekolah, masing masing merumuskan sebagai berikut :
1.    Tujuan PLS adalah untuk mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan serta nila–nilai yang memungkinkan bagi perorangan atau kelompok untuk menjadi peserta yang efisien dan efektif dalam lingkungan keluarga, pekerjaan, dan masyarakat bahkan negaranya. Dalam penjelasan lebih lanjut mengemukakan bahwa tujuan PLS bersifat jangka pendek, dan khusus. Maksudnya PLS disusun untuk memenuhi kebutuhan belajar jangka pendek, yang diidentifikasi dari peserta didik dan masyarakat sekitarnya..
2.    Pendidikan Luar Sekolah (PLS), bertujuan memberikan pengetahuan, keterampilan dan menanamkan sikap-sikap positif pada warga belajar/ peserta didik. Dalam mencapai tujuan tersebut dapat melalui berbagai variasi dan bentuk kegiatan pendidikan di luar sistem persekolahan, yang disesuaikan dengan jenis programnya.
3.    Tujuan PLS menurut Peraturan Pemerintah (PP) no.73/Tahun 1991 pasal 2, bahwa PLS bertujuan:
a.       Melayani warga belajar supaya dapat tumbuh dan berkembang sedini mungkin dan sepanjang hayatnya guna meningkatkan martabat dan mutu kehidupan.
b.      Membina warga belajar agar memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap mental yang diperlukan untuk mengembangkan diri, bekerja mencari nafkah, atau melanjutkan ke tingkat dan/atau jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
c.       Memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang tidak dapat dipenuhi dalam jalur pendidikan sekolah.

d.  Strategi dan kebijakan apa yang harus diletakkan
Strategi untuk menyelesaikan permasalahan dipandang dari 4 prioritas dalam peningkatanb mutu, pemerataan pendidikan, relevansi dan efisiensi, salah satunya melalui strategi manajemen Sumber Daya Manusia, yang memperhatikan fungsi-fungsi untuk pengembangan Sumber Daya Manusia yang dijabarkan sebagai berikut:
1.      Perencanaan (human resources planning) dapat diibaratkan sebagai inti manajemen, karena perencanaan mengurangi ketidakpastian di waktu yang akan datang. Perencanaan itu sendiri merupakan suatu pekerjaan yang dilakukan untuk menetapkan apa dan bagaimana suatu kegiatan harus dilakukan agar tujuan dapat dicapai. Perencanaan dalam Manajemen Sumber Daya Manusia berkaitan dengan kegiatan merencanakan tenaga kerja agar sesuai dengan kebutuhan organisasi atau dunia kerja dan efisien untuk waktu yang akan datang dan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang timbul oleh kondisi tersebut.
2.      Pengorganisasian adalah merupakan kegiatan untuk mengatur semua anggota dalam organisasi agar mampu bekerja dalam unit-unit kerja yang ada. Dalam hal ini pengorganisasian dilakukan dengan menetapkan pembagian kerja, hubungan kerja, delegasi wewenang, integrasi dan koordinasinya.
3.      Pengarahan adalah suatu kegiatan dalam bentuk pembekalan yang dilakukan agar semua anggota dalam organisasi atau pekerja bekerja lebih efektif dan efisien dalam membantu terwujudnya tujuan organisasi, unit kerja, perusahaan anggota/pekerja dan masyarakat.
4.      Pengendalian (controlling) adalah suatu kegiatan pemantauan yang dilakukan terhadap seluruh anggota dalam organisasi atau karyawan agar mentaati peraturan-peraturan organisasi yang telah ditetapkan dan bekerja seusai rencana.
5.      Pengadaan (procurement) adalah suatu proses penarikan, seleksi, penempatan, orientasi dan induksi untuk mendapatkan anggota organisasi yang sesuai dengan kebutuhan organisasi atau unit kerja. Proses pengadaan anggota atau karyawan menjadi sangat penting karena dari proses seleksi, penempatan anggota/karyawan yang sesuai dengan criteria untuk menduduki suatu posisi tertentu akan sangat mendukung terciptanya kualitas hasil kerja yang tinggi.
6.      Pengembangan adalah suatu usaha yang dilakukan oleh organisasi atau unit-unit yang ada untuk meningkatkan kemampuan teknis, teoritis, konseptual, dan moral Sumber Daya Manusia dalam organisasi. Dalam hal tersebut pengembangan dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan formal dan informal.
7.      Kompensasi adalah pemberian balas jasa langsung maupun tidak langsung. Pemberian balas jasa langsung akan berupa gaji dan insentif, sedang dalam bentuk tidak langsung akan berupa tunjangan bagi kesejahteraan karyawan/anggota seperti asuransi kesehatan dan keselamatan kerja.
8.      Pengintegrasian adalah salah satu fungsi oprasional yang sangat dianggap penting, karena kegiatan ini dilakukan untuk mempersatukan kepentingan perusahaan dan kebutuhan karyawan, agar tercipta kerjasama yang serasi dan saling menguntungkan.
9.      Pemeliharaan adalah suatu kegiatan untuk meningkatkan kondisi fisik, menyal dan loyalitas manusia agar tetap loyal dan mau bekerja produktif untuk menunjang tercapainya tujuan organisasi sampai waktu tertentu.
10.  Kedisiplinan merupakan salah satu fungsi dari manajemen Sumber Daya Manusia yang terpenting dan kunci bagi terwujudnya suatu tujuan. Tanpa adanya disiplin yang baik akan sulit terwujud suatu tujuan secara maksimal.
11.  Pemberhentian adalah putusnya suatu hubungan kerja seseorang dengan organisasinya.


a.  Pejelasan berbagai hambatan dalam implementasinya dan sekaligus faktor-faktor peluang dan pendorongnya
Paradigma masyarakat pada umumnya bahwa pendidikan bertitik pada sekolah saja, terutama sekolah formal yang sudah umum mereka kenal. Banyak masyarakat yang memaksakan anaknya untuk menempuh pendidikan hanya melalui sekolah formal dengan tujuan mendapatkan ijazah kelulusan dan dapat diterima bekerja di suatu perusahaan. Namun, realitasnya banyak anak yang gagal dalam pendidikannya di sekolah atau berhasil lulus sekolah, tapi tidak diterima bekerja pada suatu perusahaan.
Kondisi pendidikan di Indonesia saat ini, jika dilihat dari kondisi kelayakan minimal Sekolah Menengah Pertama  (SMP), masih sangat memprihatinkan. Hal ini juga dapat dilihat dari prestasi hasil belajar siswa atau hasil ujian secara nasional yang masih rendah.
Karena itu, masyarakat jangan hanya terpaku pada pendidikan sekolah. Realitas lain, secara nasional 60 persen Tenaga Kerja Indonesia merupakan pekerja yang pendidikan SD-nya tidak tamat. Sebagian besar dari mereka hanya menempati posisi karyawan atau buruh biasa, sedangkan untuk level atas, sebagian besar dikuasai orang asing. Minimnya kemampuan sumber daya manusia kita, karena kualitas pengetahuan dan keterampilannya juga rendah. Semua teori memang didapat di bangku sekolah, tapi praktiknya justru akan didapatkan di luar sekolah melalui pendidikan luar sekolah. Terkadang tidak sedikit masyrakat yang tidak mendapatkan pelayanan pendidikan untuk anaknya di dalam pendidikan formal dikarenakan faktor ekonomi yang tidak memadai.
Kita menyadari bahwa SDM kita masih rendah, dan tentunya kita masih punya satu sikap yakni optimis untuk dapat mengangkat SDM tersebut. Salah satu pilar yang tidak mungkin terabaikan adalah melalui pendidikan non formal atau lebih dikenal dengan pendidikan luar sekolah (PLS).
Oleh sebab itu, perlu menjadi perhatian pemerintah melalui semangat otonomi daerah adalah mengerakan program pendidikan non formal tersebut, karena UU Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara lugas dan tegas menyebutkan bahwa pendidikan non formal akan terus ditumbuhkembangkan dalam kerangka mewujudkan pendidikan berbasis masyarakat, dan pemerintah ikut bertanggungjawab kelangsungan pendidikan non formal sebagai upaya untuk menuntaskan wajib belajar 9 tahun.
b.  Langkah-langkah dan cara mengatasinya
Dalam kerangka perluasan dan pemerataan PLS dalam mengatasi permasalahannya, secara bertahap dan bergukir akan terus ditingkatkan jangkauan pelayanan serta peran serta masyarakat dan pemerintah daerah untuk menggali dan memanfaatkan seluruh potensi masyarakat untuk mendukung penyelenggaraan PLS, maka Rencana Strategis baik untuk tingkat propinsi maupun kabupaten kota, adalah:
Perluasan pemerataan dan jangkauan pendidikan anak usia dini;
1.      Peningkatan pemerataan, jangkauan dan kualitas pelayanan Kesetaraan Paket A setara SD dan B setara SMP; dan C setara SMA
2.      Penyelesaian permasalahan buta aksara pada masyarakat melalui program Keaksaraan Fungsional;
3.      Perluasan, pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan perempuan (PKUP), Program Pendidikan Orang tua (Parenting);
4.      Perluasan, pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan berkelanjutan melalui program pembinaan kursus, kelompok belajar usaha, magang, beasiswa/kursus; dan
5.      Memperkuat dan memandirikan PKBM yang telah melembaga saat ini di berbagai daerah.
Dalam kaitan dengan upaya peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan, maka program PLS lebih berorientasi pada kebutuhan pasar, tanpa mengesampingkan aspek akademis. Oleh sebab itu Program PLS mampu meningkatkan pengetahuan, keterampilan, profesionalitas, produktivitas, dan daya saing dalam merebut peluang pasar dan peluang usaha, maka yang perlu disusun Rencana strategis adalah :
1.      Meningkatkan mutu tenaga kependidikan PLS;
2.      Meningkatkan mutu sarana dan prasarana dapat memperluas pelayanan PLS, dapat meningkatkan kualitas proses dan hasil;
3.      Meningkatkan pelaksanaan program kendali mutu melalui penetapan standard kompetensi, standard kurikulum untuk kursus;
4.      Meningkatkan kemitraan dengan pihak berkepentingan (stakholder) seperti Dudi, asosiasi profesi, lembaga diklat; serta
5.      Melaksanakan penelitian kesesuain program PLS dengan kebutuhan masyarakat dan pasar.
Demikian pula kaitan dengan peningkatan kualitas manajemen pendidikan.
Strategi PLS dalam rangka era otonomi daerah, maka rencana strategi yang dilakukan adalah :
1.      Meningkatkan peran serta masyarakat dan pemerintah daerah;
2.      Pembinaan kelembagaan PLS;
3.      Pemanfaatan/pemberdayaan sumber-sumber potensi masyarakat;
4.      Mengembangkan sistem komunikasi dan informasi di bidang PLS;
5.      Meningkatkan fasilitas di bidang PLS
c.  Apa hubungannya dengan pendidikan untuk semua
Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi proses perkembangan seorang individu sekaligus merupakan peletak dasar kepribadian anak. Pendidikan anak diperoleh terutama melalui interaksi antara orang tua – anak. Dalam berinteraksi dengan anaknya, orang tua akan menunjukkan sikap dan perlakuan tertentu sebagai perwujudan pendidikan terhadap anaknya.
Pendidikan di sekolah merupakan kelanjutan dalam keluarga. Sekolah merupakan lembaga tempat dimana terjadi proses sosialisasi yang kedua setelah keluarga, sehingga mempengaruhi pribadi anak dan perkembangan sosialnya. Sekolah diselenggarakan secara formal. Di sekolah anak akan belajar apa yang ada di dalam kehidupan, dengan kata lain sekolah harus mencerminkan kehidupan sekelilingnya. Oleh karena itu, sekolah tidak boleh dipisahkan dari kehidupan dan kebutuhan masyarakat sesuai dengan perkembangan budayanya. Dalam kehidupan modern seperti saat ini, sekolah merupakan suatu keharusan, karena tuntutan-tuntutan yang diperlukan bagi perkembangan anak sudah tidak memungkinkan akan dapat dilayani oleh keluarga. Materi yang diberikan di sekolah berhubungan langsung dengan pengembangan pribadi anak, berisikan nilai moral dan agama, berhubungan langsung dengan pengembangan sains dan teknologi, serta pengembangan kecakapan-kecakapan tertentuyang langsung dapat dirasakan dalam pengisian tenaga kerja.
Pendidikan bukan hanya berlangsung di sekolah. Pendidikan akan mulai segera setelah anak lahir dan akan berlangsung sampai manusia meninggal dunia, sepanjang ia mampu menerima pengaruh-pengaruh. Oleh karena itu, proses pendidikan akan berlangsung dalam keluarga, sekolah dan masyarakat. Pendidikan di masyarakat merupakan bentuk pendidikan yang diselenggarakan di luar keluarga dan sekolah. Bentuk pendidikan ini menekankan pada pemerolehan pengetahuan dan keterampilan khusus serta praktis yang secara langsung bermanfaat dalam kehidupan di masyarakat.
Pendidikan sepanjang hayat merupakan asas pendidikan yang cocok bagi orang-orang yang hidup dalam dunia transformasi, dan di dalam masyarakat yang saling mempengaruhi seperti saat zaman globalisasi sekarang ini. Setiap manusia dituntut untuk menyesuaikan dirinya secara terus menerus dengan situasi baru. Pendidikan sepanjang hayat merupakan jawaban terhadap kritik-kritik yang dilontarkan pada sekolah. Sistem sekolah secara tradisional mengalami kesukaran dalam menyesuaikan diri dengan perubahan kehidupan yang sangat cepat dalam abad terakhir ini, dan tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan atau tutuntutan manusia yang makin meningkat. Menurut konsep pendidikan sepanjang hayat, kegiatan-kegiatan pendidikan dianggap sebagai suatu keseluruhan. Seluruh sektor pendidikan merupakan suatu sistem yang terpadu. Konsep ini harus disesuaikan dengan kenyataan serta kebutuhan masyarakat yang bersangkutan. Suatu masyarakat yang telah maju akan memiliki kebutuhan yang berbeda dengan masyarakat yang belum maju. Apabila sebahagian besar masyarakat suatu bangsa masih yang banyak buta huruf, maka upaya pemeberantasan buta huruf di kalangan orang dewasa mendapat prioritas dalam sistem pendidikan sepanjang hayat. Tetapi, di negara industri yang telah maju pesat, masalah bagaimana mengisi waktu senggang akan memperoleh perhatian dalam sistem ini.

a.    Penjelasan implementasinya dilapangan berikut dengan contoh dalam kegiatan pendidikan, sosial budaya dan sosial ekonomi
Otonomi Daerah, menurut Tjahya Supriatna (2002) bahwa pembangunan ekonomi daerah didasarkan pada pengembangan potensi daerah (manusia, alam, dan lingkungan hidup) dalam koridor ekonomi kerakyatan dengan prinsip (productivity, effciency, redistribution income, realocate economic, economic advantage and errvironmental sustainable). Arah kebijakan pembangunan ekonomi daerah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah melalui :
1.      Kebijakan daerah untuk menumbuhkan pelaku ekonomi (sektor pemerintah, swasta dan masyarakat), arus perdagangan dan investasi daerah.
2.      Menciptakan dan memperluas kerjasama antardaerah, daerah dengan pusat dan daerah dengan LN di bidang ekonomi, yang didukung dengan perangkat hukum.
3.      Menggali dan memanfaatkan potensi dan keunggulan ekonomi daerah.
4.      Meningkatkan kegiatan ekonomi dan industrialiasi perdesaaan dengan agrobisnis berbasis agraris dan maritim.
Implementasi otonomi daerah memberi dampak positif dan negatif dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah. Dampak positif yang menonjol adalah tumbuh dan berkembangnya prakarsa daerah menuju kemandirian daerah dalam membangun. Dampak negatifnya yang paling mengemuka timbulnya friksi pusat-daerah dan antar daerah, terutama dalam pengelolaan sumberdaya alam, kewenangan dan kelembagaan daerah. Salah satu penyebabnya bersumber dari harmonisasi kebijaksanaaan dengan kebijaksanaan otonomi daerah, misalnya peraturan pertanahan, tata ruang, penanaman modal, perdagangan, perikanan dan kelautan, jalan, UMKMK, Perda yang counter productive, dsb.
Akibatnya ketergantungan daerah terhadap Pemerintah Pusat sangat tinggi yang mengakibatkan kreativitas masyarakat lokal berserta seluruh perangkat daerah dan kota menjadi tak terbedayakan sedangkan kebijakan yang represif telah membunuh secara dini aspirasi daerah untuk menuntut keadilan atas kekayaan alam yang dimililiknya. Pemerintah Pusat yang telah mengalami kesulitan sumber dana agaknya juga sangat kewalahan menghadapi persoalan dan gejolak yang terjadi di aras lokal.
Menurut informasi banyak Gubernur yang juga kecewa terhadap kebijakan Otonomi Daerah, terlepas mereka kehilangan sebagian besar kekuasaannya, karena dalam Otonomi Daerah posisi Gubernur secara politis memang terpinggirkan. Ini disebabkan karena unit pelaksana Otonomi Daerah berada pada tingkat kabupaten dan kota. Undang-undang tidak mengatur secara hierarkis antara gubernur dan bupati/walikota. Jadi Gubernur tidak lagi menjadi atasan walikota atau bupati. Dengan sendirinya kekuasaan mereka hanya terbatas pada kekuasaan administratif.
Otonomi Daerah yang dilaksanakan sejak tahun 2001 membawa perubahan besar dalam pengelolaan pendidikan. Di era otonomi daerah, Pemda bertanggung jawab atas pengelolaan sektor pendidikan di semua jenjang di luar pendidikan tinggi. Dari sisi substansi, Pemda bertanggung jawab atas hampir segala bidang yang terkait dengan sektor
pendidikan (kecuali kurikulum dan penetapan standar yang menjadi kewenangan Pusat). Studi ini bertujuan untuk: (1) melihat perubahan yang terjadi dalam hal pola pembiayaan pendidikan setelah diberlakukannya otonomi daerah, (2) melihat perkembangan kemampuan Pemda untuk membiayai sektor pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya, (3) melihat berbagai masalah yang muncul dalam pembiayaan pendidikan di era otonomi daerah, serta (4) merumuskan serangkaian rekomendasi guna mengatasi berbagai masalah yang muncul tersebut.
b.  Faktor penghambat dan pendorong utamanya
Faktor penghambat otonomi daerah itu sendiri, di antaranya: Kewenangan pemerintahan provinsi dan kabupaten/ kota masih belum jelas memiliki perbedaan persepsi, belum jelasnya kewenangan pusat dan daerah yang memungkinkan terjadinya keanekaragaman kebijakan ditingkat daerah, sehingga membingungkan masyarakat. Faktor pendorong otonomi daerah itu sendiri, diantaranya: layanan masyarakat difokuskan pada potensi daerah masing-masing, sehingga dijadikan power bagi masyarakat untuk mengembangkan kreatifitas dan kemampuannya, baik SDM maupun SDA.
c.  Dampaknya bagi kesatuan dan perkembangan untuk bersaing dan bersanding
Implementasi kebijakan otonomi daerah berimplikasi pada pembangunan daerah. Pembangunan daerah diharapkan "terwujudnya kemandirian daerah dalam pengelolaan pembangunan secara serasi, profesional, dan berkelanjutan". Dalam konteks tersebut pembangunan daerah yang dilakukan pemerintah pada daerah dalam rangka reposisi paradigma baru pembangunan daerah yang berbasis kewilayahan, kemitraan pembangunan, lingkungan hidup, serta penerapan good goverrurnce dengan strategi sebagai berikut :
1.      Mendorong dan memfasilitasi koordinasi perencanaan pembangunan daerah.
2.      Mengembangkan kapasitas kelembagaan pembangunan daerah.
3.      Mendorong terciptanya keselarasan dan keserasian pembangunan daerah.
4.      Mendorong dan memfasilitasi pengembangan/pendayagunaan potensi daerah.
5.      Mengembangkan fasilitasi penataan dan pengelolaan lingkungan hidup.
6.      Mengembangkan iklim yang kondusif bagi penembangan investasi dan usaha daerah.
7.      Mengembangkan SDM aparatur pengelola pembangunan daerah yang profesional dalam pelayanan pembangunan di daerah.
8.      Pembangunan daerah merupakan salah satu tujuan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah yang berbasis kewilayahan dan lingkungan serta berkelanjutan.
d.   Pendapat penulis untuk mengatasi masalah tersebut
Untuk mengatasi persoalan kemunduran birokrasi pada tataran otonomi daerah, dalam hal pelayanan masyarakat sebagai solusi strateginya perlu memperhatikan beberapa hal, yakni: (1) merubah persepsi dan paradigm birokrasi mengenai konsep pelayanan; (2) adanya kebijakan publik yang lebih mengutamakan kepentingan publik dan pelayanan publik dibanding dengan kepentingan penguasa atau elit tertentu; (3) unsur pemerintah, privat dan masyarakat harus merupakan all together yang sinergi; (4) adanya peraturan daerah yang mampu menjelaskan mengenai standart minimal pelayanan public dan sanksi yang diberikan bagi yang melanggarnya; (5) adanya mekanisme pengawasan sosial yang jelas mengenai pelayanan publik antara birokrat dan masyarakat yang dilayani; (6) adanya kepemimpinan yang kuat (strong leadership) dalam melaksanakan komitmen pelayanan publik; (7) adanya upaya pembaharuan dibidang sistem administrasi publik (administrative reform); (8) adanya upaya untuk memberdayakan masyarakat (empowerment) secara terus menerus dan demokratis.

a.  Pilar Pendidikan menurut Delors
Untuk menghadapi dan menyesuaikan diri dengan tuntutan perkembangan dunia yang sangat cepat, UNESCO (Nana Syaodih Sukmadinata, 2005) merumuskan empat pilar belajar, yaitu: belajar mengetahui (learning to know), belajar berkarya (learning to do), belajar hidup bersama (learning to live together), dan belajar berkembang secara utuh (learning to be).
1. Belajar mengetahui (learning to know)
Jacques Delors (1996), sebagai ketua komisi penyusun Learning the Treasure Within, menegaskan adanya dua manfaat pengetahuan, yaitu pengetahuan sebagai alat (mean) dan pengetahuan sebagai hasil (end). Sebagai alat, pengetahuan digunakan untuk pencapaian berbagai tujuan, seperti: memahami lingkungan, hidup layak sesuai kondisi lingkungan, pengembangan keterampilan bekerja, berkomunikasi. Sebagai hasil, pengetahuan mereka dasar bagi kepuasaan memahami, mengetahui dan menemukan.
Pendidikan pada hakekatnya merupakan usaha untuk mencari agar mengetahui informasi yang dibutuhkan dan berguna bagi kehidupan. Belajar untuk mengetahui (learning to know) dalam prosesnya tidak sekedar mengetahui apa yang bermakna tetapi juga sekaligus mengetahui apa yang tidak bermanfaat bagi kehidupan. Guna merealisir learning to know, pendidik seyogyanya tidak hanya berfungsi sebagai sumber informasi melainkan juga fasilitator. Di samping itu pendidik dituntut dapat berperan sebagai teman sejawat dalam berdialog dengan peserta didik dalam mengembangkan penguasaan pengetahuan maupun ilmu tertentu
2. Belajar berkarya (learning to do)
Pendidikan merupakan proses belajar untuk melakukan sesuatu (learning to do). Proses belajar menghasilkan perubahan dalam ranah kognitif, peningkatan kompetensi, serta pemilihan dan penerimaan nilai. Pendidikan membekali manusia tidak sekedar untuk mengetahui, tetapi lebih jauh untuk terampil berbuat atau mengerjakan sesuatu sehingga menghasilkan sesuatu yang bermakna bagi kehidupan. Learning to do bisa berjalan jika lembaga pendidikan memfasilitasi peserta didik untuk mengaktualisasikan keterampilan yang dimilikinya, serta bakat dan minatnya. Walaupun bakat dan minat anak banyak dipengaruhi unsur keturunan, namun tumbuh berkembangnya tergantung pada lingkungannya. Dewasa ini keterampilan bisa digunakan menopang kehidupan seseorang, bahkan keterampilan lebih dominan daripada penguasaan pengetahuan dalam mendukung keberhasilan kehidupan seseorang.
3. Belajar hidup bersama (learning to live together)
Dalam kehidupan global, kita tidak hanya berinteraksi dengan beraneka kelompok etnik, daerah, budaya, ras, agama, kepakaran, dan profesi, tetapi hidup bersama dan bekerja sama dengan aneka kelompok tersebut. Agar mampu berinteraksi, berkomonikasi, bekerja sama dan hidup bersama antar kelompok dituntut belajar hidup bersama. Tiap kelompok memiliki latar belakang pendidikan, kebudayaan, tradisi, dan tahap perkembangan yang berbeda, agar bisa bekerjasama dan hidup rukun, mereka harus banyak belajar hidup bersama, being sociable (berusaha membina kehidupan bersama).
4. Belajar berkembang utuh (learning to be)
Tantangan kehidupan yang berkembang cepat dan sangat kompleks, menuntut pengembangan manusia secara utuh. Manusia yang seluruh aspek kepribadiannya berkembang secara optimal dan seimbang, baik aspek intelektual, emosi, sosial, fisik, maupun moral. Untuk mencapai sasaran demikian individu dituntut banyak belajar mengembangkan seluruh aspek kepribadiannya. Sebenarnya tuntutan perkembangan kehidupan global, bukan hanya menuntut berkembangnya manusia secara menyeluruh dan utuh, tetapi juga manusia utuh yang unggul. Untuk itu mereka harus berusaha banyak mencapai keunggulan (being excellence). Keunggulan diperkuat dengan moral yang kuat. Individu-individu global harus berupaya bermoral kuat atau being morally.
b.  Aplikasi keempat pilar itu dalam pendidikan sekolah dan kenyataan penegakkannya  secara tuntas pada keempat pilar itu serta realitas peran serta  pendidikan luar sekolah kepada keempat pilar pendidikan tersebut
Gagasan yang dimunculkan oleh International Council For Educatioanl Development (ICED) tentang pendidikan adalah, bahwa pendidikan identik dengan belajar, tanpa melihat di mana, kapan dan bagaimana belajar itu berlangsung.  Pendidikan mencakup segala aspek yang lebih luas, bukan saja pengetahuan dan keterampilan akademis, tetapi juga kemampuan bekerja, apresiasi keindahan, cara berpikir analitis, pembentukan sikap, cita-cita, asimilasi pengetahuan dan bermacam ragam informasi.  Berbagai macam kegiatan belajar bisa berlain-lainan dalam hal sifat kompleksitasnya serta kedalamannya ; dalam hal waktu, usaha, dan kematangan yang diperlukan untuk mencapainya ; dalam hal sifat umum atau khususnya.
Gagasan baru ini menuntut adanya kegiatan memahami berbagai kebutuhan belajar dari sasaran didik sebelum menentukan jalur atau cara yang akan ditempuh.  Oleh karena proses  belajar itu tidak berakhir sepanjang manusia itu masih hidup, maka gagasan ini melahirkan konsep pendidikan sepanjang hayat (life long education).  Konsep ini pada dasarnya sejalan dengan paham instrumentalisme Dewey, yang menganggap bahwa pendidikan tidak berakhir, melainkan merupakan proses yang berkesinambungangan sepanjang kurun hidup seseorang.
Dengan berlandaskan konsep, bahwa pendidikan adalah proses yang terus menerus, sekolah tidak lagi memonopoli setiap usaha pendidikan.  Jika dulu sekolah dianggap sebagai satu-satunya lembaga yang paling efektif dan efesien dalam menyajikan pendidikan di masyarakat, maka sekarang dipahami  bahwa sekolah hanya salah satu saja di antara berbagai lembaga pendidikan yang ada di masyarakat, yang sama-sama efektif dan efesien dalam menyajikan pendidikan.  
Dalam memahami dan mendefinisikan pendidikan luar sekolah kita dapat  berpijak pada beberapa parameter pendidikan luar sekolah  yang tampak menonjol dalam berbagai kegaitannnya.  Setidak-tidaknya ada empat parameter, yaitu  sistem peluncuran atau penyampaian (delivery system), tujuan, karaktersitik pedagogic, dan ‘credentials’ versus kebutuhan.
Sistem peluncuran atau penyampaian  (delivery system). Secara umum sistem penyampaian dalam pendidikan luar sekolah menunjukkan perbedaan dengan kegiatan belajar dalam sekolah.  Dalam pendidikan luar sekolah itu sendiri terdapat berbagai sistem peluncuran yang berbeda-beda,  seperti dalam pendidikan kehidupan keluarga adalah indigenous, sedangkan sebagian lainya, seperti penyuluhan pertanian, adalah exogenous, yang lainya bersifat sosial atau keagamaan, lokal, regional ataupun internasional.
Tujuan. dapat dibedakan antara pendidikan yang bersifat jangka pendek dengan tujuan yang sangat spesifik. (formal), dengan upaya pendidikan yang bersifat jangka panjang dengan tujuan yang sangat umum(non formal).
Karakteristik  pedagogik. Terminologi formal (persekolahan) dan non-formal (luar sekolah) juga dipergunakan untuk membedakan gaya atau modus pedagogik. Gaya dengan struktur modus pedagogik yang berderajat tinggi mengacu pada pendidikan formal, sedangkan yang berderajat rendah mengacu pada pendidikan nonformal dengan sifat yang fleksibel. Atau dengan perkataan lain modus pedagogik secara kontinum bersambungan dengan modus andragogik, di mana modus pedagogik lebih mengacu pada pendidikan formal, sedangkan modus andragogik pada pendidikan nonformal.
‘Credensials’ versus kebutuhan. ‘Credentials’ adalah pengakuan yang tinggi terhadap ijazah sebagai keberhasilan pendidikan.  ‘Pada pendidikan sekolah ‘credensials’ sangat dipentingkan, sedangkan pada pendidikan luar sekolah kurang dipentingkan.   Dalam pendidikan luar sekolah yang dipentingkan  adalah pemenuhan kebutuhan belajar peserta didik untuk mencapai tujuan belajar tertentu
c.  Coba tempatkan keempat pilar itu dalam konsep pendidikan sepanjang hayat
Pendidikan hendaknya diatur di sekitar empat jenis belajar yang fundamental sifatnya sepanjang kehidupan seseorang, yang dapat dikatakan sendi atau sokoguru pengetahuan, yaitu : belajar mengetahui (learning to know), yakni mendapatkan instrumen atau pemahaman; belajar berbuat (learning to do) sehingga mampu bertindak kreatif di lingkungannya; belajar hidup bersama (learning to live together) sehingga mampu berperan serta dan bekerja sama dengan orang-orang lain di dalam semua kegiatan; dan belajar menjadi seseorang (learning to be) sehingga seseorang  tumbuh berkembang menjadi dirinya sendiri yang mandiri. Keempat sendi  itu merupakan satu kesatuan, yang diantaranya terdapat titik temu, perpotongnan dan pertukaran. Selama ini pendidikan sekolah (formal) terlalu berfokus pada belajar mengetahui, dan sampai taraf tertentu belajar berbuat. Yang dua lainnya kurang terperhatikan.
Laporan UNESCO (Delors, dkk. 1996) telah menetapkan empat pilar pendidikan sebagai landasan pendidikan era global, yaitu: (1) learning to know, yakni peserta didik mempelajari pengetahuan, (2) learning to do, yakni peserta didik menggunakan pengetahuannya untuk mengembangkan keterampilan, (3) learning to be, yakni peserta didik menggunakan pengetahuan dan keterampilannya untuk hidup, dan (4) learning to live together, yakni peserta didik menyadari bahwa adanya saling ketergantungan sehingga diperlukan adanya saling menghargai antara sesama manusia. Laporan itu juga mengatakan bahwa untuk memenuhi tuntutan kehidupan masa depan, pendidikan tradisional yang sangat quantitatively-oriented and knowledge-based tidak lagi relevan. Melalui pendidikan, setiap individu mesti disediakan berbagai kesempatan belajar sepanjang hayat; baik untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap maupun untuk dapat menyesuaikan diri dengan dunia yang kompleks dan penuh dengan saling ketergantungan.
Tindak lanjut dari landasan pendidikan tersebut adalah munculnya orientasi pada pembentukan kompetensi yang relevan dengan tuntutan dunia nyata. Kompetensi meliputi pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap. Pendidikan tradisional yang sangat berorientasi kuantitatif dan menyandarkan pada pemahaman pengetahuan semata, seperti disebutkan di atas, dianggap tidak dapat membekali peserta didik dengan kompetensi yang diperlukan dalam kehidupan. Dengan demikian, pendidikan yang dikehendaki dewasa ini adalah pendidikan yang berlangsung secara kontekstual. Pendidikan kontekstual dicirikan oleh proses pembelajaran yang diarahkan pada pemecahan masalah, menggunakan konteks yang bervariasi, menghargai keberagaman individu, mendukung pembelajaran mandiri (self-regulated learning), menggunakan kelompok belajar secara kooperatif, dan menggunakan asesmen otentik (Clifford dan Wilson, 2000). Tindak lanjut pertama dari orientasi tersebut sudah tentu adalah reorientasi pada kurikulum; dari kurikulum tradisional yang cenderung subject-matter oriented menuju kepada competency-based. Sesuai dengan hakikat kurikulum berbasis kompetensi, maka pembelajaran harus berpusat pada peserta didik dan bersifat kontekstual. Model-model pembelajaran inovatif yang berbasis kompetensi dan asesmen otentik menjadi tulang punggung untuk menyukseskan kurikulum berbasis kompetensi.
d.  Delors juga menegaskan pentingnya pendidikan dasar, yang tidak bisa ditawar-tawar lagi di abad XXI. Masalah yang dihadapi mengenai hal itu di Indonesia dan upaya apa yang harus dilakukan?
Suatu tuntutan yang pada hakekatnya telah digariskan oleh para pendiri Republik Indonesia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional. Tetapi untuk melaksanakan peranan ini, kondisi pendidikan di Negara berkembang pada umumnya (termasuk Indonesia) dilukiskan oleh seorang anggota Komisi tersebut In’am Al Mufti dalam artikelnya “Excellence in Education : investing in human talent” dalam: “in the past two decades in particular, governments and international agencies in the developing world sought to respond to development challenges by focusing increasingly on expanding educational opportunities. This drive by developing countries was in fulfilment of UNESCO’s mission to achieve ‘Education for All’. But the expansion in education was concentrated on coping with growing demand for schooling, while the quality of education itself was not given priority.”
Akibat dari perkembangan ini yang terjadi adalah sekolah yang berjubel, dengan guru yang secara profesional kurang memenuhi syarat, proses pembelajaran tidak lebih dari mencatat, menghafal, dan mengingat kembali yang berdampak tidak adanya kesempatan menerapkan pendekatan modern dalam proses pembelajaran. Mufti yakin bahwa tiadanya kesempatan bagi peserta didik untuk memperoleh pendidikan yang bermutu akan merugikan masyarakat karena sukar memperoleh sumber daya manusia yang bermutu untuk pembangunan masyarakat. Dalam kalimat aslinya dia menyatakan: “Notwithstanding the good intentions of traditional policies, to deprive outstanding students of appropriate educational opportunities is to deprive society of the best human resources that lead towards real and effective development.” Dengan latar belakang inilah, yaitu ketertinggalan negara berkembang dari negara maju dalam penguasaan IPTEK yang melatarbelakangi kemajuan ilmu dan stabilnya sistem politik demokrasi dan tiadanya dukungan bagi pemerataan pendidikan, UNESCO memperkenalkan empat pilar belajar, yaitu: ‘Learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be. Learning to Know Seperti telah dikemukakan oleh Philip Phenix, proses pembelajaran yang mengutamakan penguasaan “ways of knowing’ atau “mode of inquiry” telah memungkinkan peserta didik untuk terus belajar dan mampu memperoleh pengetahuan baru dan tidak hanya memperoleh pengetahuan hasil penelitian orang lain.
Karena itu hakekat dari “Learning to Know” adalah proses pembelajaran yang memungkinkan pelajar/mahasiswa menguasai teknik memperoleh pengetahuan dan bukan semata-mata memperoleh pengetahuan. Dalam bahasan Israel Scheffler pilar ini pada hakekatnya terkait dengan relevansi epistemology, yang mengutamakan proses pembelajaran yang memungkinkan peserta didik (pelajar/mahasiswa) terlibat dalam proses meneliti dan mengkaji. Dalam kalimat lengkapnya tertulis sebagai berikut: Dari uraian di atas dan kutipan yang sengaja penulis sajikan dapatlah ditarik pemahaman bahwa penerapan pilar “learning to know” pada tingkat pendidikan tinggi adalah penerapan paradigma penelitian ilmiah dalam pelaksanaan perkuliahan. Suatu model yang penulis alami selama mengikuti kuliah di “University of California”. Dengan model pendekatan ini dapatlah dihasilkan lulusan yang memiliki kemampuan intelektual dan akademik yang tinggi dan dengan sendirinya akan mampu mengembangkan ilmu pengetahuan.
Learning to Do Bagaimana dengan pilar kedua “learning to do”. Kalau pilar pertama, “learning to know”, sasarannya adalah pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga tercapai keseimbangan dalam penguasaan IPTEK antara negara di dunia dan tidak lagi dibagi antara negara utara-selatan, pilar kedua, “learning to do”, sasarannya adalah kemampuan kerja generasi muda untuk mendukung dan memasuki ekonomi industri. Dalam masyarakat industri atau ekonomi industri tuntutan tidak lagi cukup dengan penguasaan ketrampilan motorik yang kaku melainkan diperlukan kemampuan untuk melaksanakan pekerjaan– pekerjaan seperti “controlling, monitoring, maintaining, designing, organizing, yang dengan kemajuan teknologi pekerjaan yang sifatnya fisik telah diganti dengan mesin. Untuk menyiapkan anggota masyarakat dalam dunia kerja yang dalam “technology knowledge based economy”, belajar melakukan sesuatu dalam situasi yang konkrit yang tidak hanya terbatas kepada penguasaan ketrampilan yang mekanistis melainkan meliputi kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dengan orang lain, mengelola dan mengatasi konflik, menjadi penting. Untuk itu penulis berpandangan dalam kaitan dengan pilar kedua yaitu “learning to do” perlu dikaitkan dengan pandangan Scheffler tentang relevansi psikologis, maupun doktrin Whitehead tentang hakekat pendidikan sebagai upaya penguasaan seni menggunakan pengetahuan. Ini berarti pula bahwa untuk melahirkan generasi baru yang “intelligent” dalam bekerja, pengembangan kemampuan memecahkan masalah dan berinovasi sangatlah diperlukan.
Learning to Live Together. Kemajuan dunia dalam bidang IPTEK dan ekonomi yang mengubah dunia menjadi desa global ternyata tidak menghapus konflik antara manusia yang selalu mewarnai sejarah umat manusia. Yang terjadi akhir-akhir ini bahkan
sebaliknya yaitu terjadinya konflik antar manusia yang didasarkan atas prasangka, baik antar ras, antar suku, antar agama dan antar si kaya dan si miskin, dan antar negara. Padahal sejak berakhirnya Perang Dunia ke II berbagai deklarasi untuk menjadi dasar penyelesaian konflik seperti Deklarasi HAM, piagam PBB, dan kita bangsa Indonesia memiliki landasan pandangan hidup Pancasila yang hakekatnya adalah untuk membangun negara kebangsaan yang demokratis, berkeadilan sosial, ber-Ketuhanan yang Maha Esa, dan menggalang persatuan dan persaudaraan bukan hanya antar warga bangsa melainkan
dengan seluruh umat manusia seperti dinyatakan dalam kalimat “ketertiban dunia yang didasarkan kemerdekaan, keadilan sosial dan perdamaian abadi”. Tetapi kenyataan menunjukkan terjadinya berbagai konflik sosial baik horizontal maupun vertical. Latar belakang kenyataan dalam masyarakat yang digambarkan oleh komisi diatas menuntut pendidikan tidak hanya membekali generasi muda untuk menguasai IPTEK dan kemampuan bekerja serta memecahkan masalah, melainkan kemampuan untuk hidup bersama dengan orang lain yang berbeda dengan penuh toleransi, pengertian, dan tanpa prasangka. Dalam kaitan ini adalah tugas pendidikan untuk pada saat yang bersamaan setiap peserta didik memperoleh pengetahuan dan memiliki kesadaran bahwa hakekat manusia adalah beragam tetapi dalam keragaman tersebut terdapat persamaan. Pendidikan untuk mencapai tingkat kesadaran akan persamaan antar sesame manusia dan terdapat saling ketergantungan satu sama lain tidak dapat ditempuh dengan pendidikan dengan pendekatan tradisional melainkan perlu menciptakan situasi kebersamaan dalam waktu yang relative lama. Dalam hubungan ini, prinsip relevansi sosial dan moral yang disarankan Israel Scheffler sangat memadai. Suatu prinsip yang memerlukan suasana, belajar yang secara “inherently” mengandung nilai-nilai toleransi saling ketergantungan, kerjasama, dan tenggang rasa. Ini diperlukan proses pembelajaran yang menuntut kerjasama untuk mencapai tujuan bersama. Kegiatan “camping” yang berlangsung mingguan dengan sasaran bersama yang harus dicapai oleh seluruh peserta merupakan salah satu model yang perlu ditempuh. Model sekolah berasrama dan kampus yang merupakan kawasan tersendiri merupakan pendekatan yang ditempuh Inggris dan Amerika Serikat dalam membangun bangsa yang bersatu. Kiranya bangsa Indonesia perlu belajar
dari negara lain.
Learning to Be. Tiga pilar yaitu learning to know, learning to do, dan learning to live together ditujukan bagi lahirnya generasi muda yang mampu mencari informasi dan/
atau menemukan ilmu pengetahuan, yang mampu melaksanakan tugas dalam memecahkan masalah, dan mampu bekerjasama, bertenggang rasa, dan toleran terhadap perbedaan. Bila ketiganya berhasil dengan memuaskan akan menimbulkan adanya rasa percaya diri pada masing-masing peserta didik. Hasil akhirnya adalah manusia yang mampu mengenal dirinya, dalam bahasa UU No. 2 Th. 1989 adalah manusia yang berkepribadian yang mantap dan mandiri. Manusia yang utuh yang memiliki kemantapan emosional dan intelektual, yang mengenal dirinya, yang dapat mengendalikan dirinya, yang konsisten dan yang memiliki rasa empati (tepo sliro), atau dalam kamus psikologi disebut memiliki “Emotional Intelligance”. Inilah kurang lebih makna “learning to be”, yaitu muara akhir dari tiga pilar belajar. Pendidikan yang berlangsung selama ini pada umumnya tidak mampu membantu peserta didik (pelajar/ mahasiswa) mencapai tingkatan kepribadian yang mantap dan mandiri atau manusia yang utuh karena proses pembelajaran pada berbagai pilar tidak pernah sampai kepada tingkatan “joy of discovery” pada pilar “learning to know”, tingkatan joy of being succesful in achieving objective, pada “learning
to do”, dan tingkatan joy of getting together to achieve common goal.

a.  Pemaparan secara skematis keterkaitan antara proses pendidikan dengan input, output dan outcome dalam sub system pendidikan nonformal
Dalam menjalankan perananya sebagai bagian sistem pendidikan Nasional guna mencapai tujuannya pendidikan luar sekolah memiliki sistem tersendiri yang terbagi menjadi beberapa komponen yang saling berkaitan. Sebagaimana diungkapkan oleh Djuju Sudjana (2004 : 34 – 38) sebagai berikut :
Hubungan Fungsional Antara Komponen-Komponen Pendidikan Luar Sekolah








            Dari gambar di atas dapat di jelaskan ke 8 komponen yang tergabung di dalam komponen pendidikan luar sekolah adalah:
            Masukan sarana (instrumental input) meliputi keseluruhan sumber dan fasilitas yang memungkinkan bagi seseorang atau kelompok dapat melakukan kegiatan belajar. Termasuk di dalamnya adalah tujuan program, kurikulum pendidikan, tenaga pendidikan, tenaga pengelola program, sumber belajar, media belajar, biaya, dan pengelolaan program
            Masukan mentah (raw input) yaitu peserta didik (warga belajar) dengan berbagai karakteristik yang dimilikinya termasuk cirri-ciri yang berhbungan dengan factor internal meliputi struktur kognitif, pengalaman, sikap, minat, keterampilan, kebutuhan belajar, aspirasi, dan lain sebagainya. Serta cirri-ciri yang berhubungan dengan factor eksternal seprti keadaan keluarga dalam segi ekonomi, pendidikan, status social, biaya dan sarana belajar, serta cara dan kebiasdaan belajar.
            Masukan lingkungan (environmental input) yaitu factor lingkungan yang menunjang atau mendorong berjalannya program pendidikan, meliputi lingkungan keluarga, lingkungan social, seperti teman bergaul atau teman bekerja, lapangan kerja, kelompok social dan sebaginya. Termasuk didalamnya kebijakan-kebijakan pemerintah yang mendorong terhadap berkembangnya pendidikan luar sekolah.
            Proses (Process) menyangkut interaksi antara masukan sarana terutama pendidik, dengan masukan mentah, yaitu peserta didik (warga belajar). Proses ini terdiri atas kegiatan belajar-membelajarkan, bimbingan dan penyuluhan, serta evaluasi. Kegiatan belajar-membelajarkan lebih mengutamakan peranan pendidik untuk membantu peserta didik agar merejka aktif di dalam melakukan kegiatan belajar, dan bukan menekankan peranan mengajar.
            Keluaran (output) yaitu kuantitas lulusan yang di sertai kualitas perubahan tingkah laku yabg di dapat dari kegiatan belajar mengajar. Perubahan tingkah laku ini mencakup ranah kognitif, afektif dan psikomotor yang sesuai dengan kebutuhan belajar yang merekja butuhkan.
            Masukan lain (other input) adalah daya dukung lain yang memungkinkan para peserta didik dan lulusan dapat menggunakan kempuan yang telah dimiliki untuk kemajuan kehidupannya. Masukan lain ini meliputi dana atau modal, lapangan kerja/usaha, informasi, alat dan fasilitas, pemasaran, lapangan kerja dan lain sebgainya.
Pengaruh (impact) menyangkut hasil yang di capai oleh peserta didik dan lulsan. Pengaruh ini meliputi (a) perubahan taraf hidup yang di tandai dengan perolehan pekerjaan atau berwirausaha. Perolehan atau peningkatan pendapatan, kesehatan dan penampilan diri. (b) Peningkatan partisipasai dalam kegiatan social dan pembangunan masyarakat baik partisipasi buah pikiran, tenaga, harta benda dan sebagainya.
b.  Makna belajar sepanjang hayat dalam proses dan keluaran serta dampak Pembelajaran Pendidikan Luar Sekolah
1.   Belajar sepanjang hayat dalam proses
Belajar sepanjang hayat adalah suatu konsep, suatu idea, gagasan pokok dalam konsep ini ialah bahwa belajar itu tidak hanya berlangsung di lembaga-lembaga pendidikan formal seseorang masih dapat memperoleh pengetahuan kalau ia mau, setelah ia selesai mengikuti pendidikan di suatu lembaga pendidikan formal. Ditekankan pula bahwa belajar dalam arti sebenarnya adalah sesuatu yang berlangsung sepanjang kehidupan seseorang. Bedasarkan idea tersebut konsep belajar sepanjang hayat sering pula dikatakan sebagai belajar berkesinambungan (continuing learning). Dengan terus menerus belajar, seseorang tidak akan ketinggalan zaman dan dapat memperbaharui pengetahuannya, terutama bagi mereka yang sudah berusia lanjut. Dengan pengetahuan yang selalu diperbaharui ini, mereka tidak akan terasing dan generasi muda, mereka tidak akan menjadi snile atau pikun secara dini, dan tetap dapat memberikan sumbangannya bagi kehidupan di lingkungannya.
Belajar erat kaitannya dengan psikologi. Dalam hal ini, Made Pidarta mengemukakan : psikologi atau jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa manusia. Jiwa itu sendiri adalah roh dalam mengendalikan jasmani. Karena itu jiwa atau psikis dapat dikatakan inti dan kendali kehidupan manusia yang berada dan melekat dalam diri manusia itu sendiri.
Jiwa manusia berkembang sejajar dengan pertumbuhan jasmani, sejak dari masa bayi, kanak-kanak dan seterusnya sampai dewasa dan masa tuĆ£. Makin besar anak itu makin berkembang pula jiwanya. Dengan melalui tahap-tahap tertentu dan akhimya anak itu mencapai kedewasaan baik dari segi kejiwaan maupun dari segi jasmani.
Dalam perkembangan jiwa dan jasmani tersebut, manusia perlu belajar. Masa belajar itu bertingkat-tingkat, sejalan dengan fase-fase perkembangannya, sejak masa kanak-kanak sampai masa tua. Dan sini dapat dipahami bahwa belajar merupakan kebutuhan sebagai bekal u$ntuk menempuh kehidupan disepanjang hayatnya.
Belajar merupakan aktivitas anak (manusia) yang sangat vital. Dibandingkan dengan mahkuk lain, di dunia ini tidak ada mahluk hidup yang sewaktu baru dilahirkan sedemikian tidak berdayanya seperti bayi manusia Sebaliknya tidak ada mahkuk lain di dunia ini yang setelah dewasa mampu menciptakan apa yang telah diciptakan manusia dewasa. Jika bayi manusia yang baru dilahirkan tidak mendapat bantuan dari orang dewasa, niscaya binasalah ia. Ia tidak mampu hidup sebagai manusia jika ia tidak diajar/ di didik oleh manusia lain, meskipun bayi yang baru dilahirkan itu membawa beberapa naluri/ instink dan potensi-potensi yang diperlukan untuk kelangsungan hidupnya. Namun potensi-potensi bawaan tak dapat berkembang dengan baik tanpa adanya pengaruh dari luar. Usia bukan hanya mahiuk biologis seperti halnya hewan, tetapi juga mahiuk social budaya. Karena itu manusia membutuhkan kepandaian yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, dan semua ini hanya dapat dicapai melalui belajar. Jelas bahwa belajar sangat penting bagi kehidupan seorang manusia. Disamping itu dapat dipahami bahwa anak (manusia) membutuhkan waktu yang lama untuk belajar, sejak dari masa kanak-kanak sampai masa tua sepanjang kehidupannya. Karena itu manusia selalu dan senantiasa belajar kapanpun dan dimanapun.
Adapun belajar itu sendiri dapat didefinisikan antara lain:
1.      Hilgard mengatakan :Learning is the proses by which an activity originates as changed through training procedures (whether in the laboratory or in the natural environment). Belajar adalah proses yang melahirkan atau mengubah suatu kegiatan melalui jalan latihan (apakah dalam laboratorium atau dalam Iingkungan alamiah).
2.      Morgan, belajar adalah setiap perubahan yang relative menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman.
3.      James P. Chaplin, learning (hal belajar, pengetahuan), yang berarti perolehan dari sembarang perubahan yang relative permanent dalam tingkah laku sebagai hasil praktek atualisai pengalaman.
Dikatakan belajar apabila membawa suatu perubahan pada individu yang belajar. Perubahan itu tidak hanya mengenai jumlah pengetahuan, melainkan juga dalam bentuk kecakapan, kebiasaan, sikap, pengertian, penghargaan, minat, penyesuaian diri. Pendeknya mengenai segala aspek organisme atau pribadi seseorang. Karena itu seorang yang belajar ia tidak sama lagi dengan saat sebelumnya, karena ia lebih sanggup menghadapi kesulitan memecahkan masalah atau menyesuaikan diri dengan keadaan. Ia tidak hanya bertambah pengetahuannya, akan tetapi dapat pula menerapkanya secara fungsional dalam situasi hidupnya.
Dalam hubungan dengan usaha pendidikan, maka belajar adalah key term (istilah kunci) yang paling vital dalam setiap usaha pendidikan sehingga tanpa belajar sesungguhnya tak pernah ada pendidikan. Sebagai suatu proses, belajar selalu mendapat tempat yang luas dalam berbagai disiplin ilmu pendidikan dan psikologis belajar.
Sejalan dengan fase-fase perkembangan pada manusia sejak dari masa kanak-kanak sampai masa tua, dikemukakan oleh Havinghurst yang dikutip oleh Made Pidarta, yaitu:
1. Fase perkembangan masa kanak-kanak
2. Fase perkembangan masa anak
3. Fase perkembangan masa remaja
4. Fase perkembangan masa dewasa awal
5. Fase perkembangan masa setengah baya
6. Fase perkembangan masa tua
Untuk memenuhi tugas-tugas pada setiap fase tersebut, dicapai melalui belajar. Berangkat dari fenomena ini muncullah konsep belajar untuk memberikan layanan-layanan dan prioritas bagi mereka yang tidak lagi belajar pada pendidikan dini dan turut berpartisipasi di dalam aktivitas kehidupan di lingkungan masyarakat.
2.   Belajar sepanjang hayat sebagai keluaran serta dampak pembelajaran pendidikan luar sekolah
Berdasarkan gagasan pendidikan seumur hidup ini, pendidikan merupakan proses sepanjang hayat, dan tidak berakhir pada saat berakhirnya pendidikan sekolah.  Sebaliknya pendidikan seumur hidup tidak terbatas pada pendidikan orang dewasa dan sejenisnya, melainkan mencakup dan membentuk kesatuan dan keseluruhan tahap-tahap pendidikan sebagai satu totalitas.  Di dalam pendidikan seumur hidup, sekolah dipandang sebgai salah satu saja dari sekian banyak agen-agen pendidikan.  Di samping sekolah dan pusat-pusat latihan, lembaga-lembaga, kelompok-kelompok, organisasi-organisasi, industri, dan lain-lain berperan dalam mengemban misi pendidikan, dalam membentuk masyarakat nelajar.  Belajar untuk hidup (learning to be) dan masyarakat gemar belajar (learning society) menjadi tujuan pendidikan seumur hidup.
Belajar untuk hidup berarti belajar bagaimana caranya belajar, belajar berfikir, belajar menjadi warga negara yang produktif, belajar berbuat atau bertingkah laku sebagai warga negara yang baik, yang bertaqwa dan beriman.  Dan lebih jauh lagi memahami proses penemuan diri dan pencapaian kesadaran tentang kemampuan dan kelemahan diri sendiri, yang pada akhirnya ditujukan untuk mencapai tingkat kualitas yang memadai.
Secara lebih aplikatif Djudju Sudjana, (1991:175-176) mengemukakan bahwa pendidikan sepanjang hayat memberi arah terhadap pendidikan luar sekolah, agar jalur pendidikan ini dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip: (1) pendidikan hanya berakhir apabila manuisa telah meninggal dunia fana, (2) pendidikan luar sekolah, merupakan motivasi yang kuat bagi peserta didik untuk berperan dalam merencanakan dan melakukan kegiatan belajar secara terorganisir dan sistimatis, (3) kegiatan belajar ditujukan untuk memperoleh, memperbaharui, dan atau meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, dan aspirasi yang telah dimiliki oleh peserta didik atau masyarakat berhubungan dengan adanya perubahan yang terus menerus sepanjang kehidupan, (4) pendidikan memiliki tujuan-tujuan berangkai dalam mengembangkan kepuasan diri setiap insane yang melakukan kegiatan belajar, (5) perolehan pendidikan merupakan prasarat bagi perkembangan kehidupan manusia, baik untuk memotivasi diri maupun untuk meningkatkan kemampuannya, agar menusia melakukan kegiatan belajar guna memenuhi kebutuhan hidupnya, (6) pendidikan luar sekolah mengakui eksistensi dan pentingnya pendidikan sekolah serta dapat menerima pengaruh darinya karena kehadiran kedua subsistem pendidikan ini saling melengkapi dan saling mendukung antara satu dengan yang lainnya.
c.  Jelaskan prinsip-prinsip dan aplikasi pembelajaran sepanjang hayat dalam pendidikan nonformal, formal dan informal
Paradigma pembelajaran sepanjang hayat berarti bahwa pembelajaran merupakan proses yang berlangsung seumur hidup, yaitu pembelajaran sejak lahir hingga akhir hayat yang diselenggarakan secara terbuka dan multimakna. Pembelajaran sepanjang hayat berlangsung secara terbuka melalui jalur formal, nonformal, dan informal yang dapat diakses oleh peserta didik setiap saat tidak dibatasi oleh usia, tempat, dan waktu. Pembelajaran dengan sistem terbuka diselenggarakan dengan fleksibilitas pilihan dan waktu penyelesaian program lintas satuan dan jalur pendidikan (multi entry-multi exit system). Dengan paradigma ini baik peserta didik maupun pendidik menjadi subyek pembelajar yang mandiri, bertanggung jawab, kreatif, inovatif, dan berkewirausahaan. Hidup adalah pembelajaran. Pendidik dan peserta didik dapat belajar sambil bekerja atau mengambil program-program pendidikan pada jenis dan jalur pendidikan yang berbeda secara terpadu dan berkelanjutan melalui pembelajaran tatap muka, jarak jauh, ataupun secara otodidaktif. Pendidikan multimakna diselenggarakan dengan berorientasi pada pembudayaan, pemberdayaan, pembentukan akhlak mulia, budi perkerti luhur, dan watak, kepribadian, atau karakter unggul, serta berbagai kecakapan hidup (life skills). Paradigma ini memperlakukan, memfasilitasi, dan mendorong peserta didik menjadi subyek pembelajar mandiri yang bertanggung jawab, kreatif, inovatif, dan berkewirausahaan.
            Alasan lain perlunya Pendidikan Sepanjang Hayat yaitu:
1.      Pada hakikatnya belajar berlangsung sepanjang hayat, hingga manusia hidup
2.      Sekolah tradisional tidak dapat memberikan bekal kerja yang coraknya semakin tidak menentu dan cepat berubah
3.      Pendidikan masa balita punya peranan penting sebagai fondasi pembentukan kepribadian dan bagi aktualisasi diri. Sekolah tidak dapat mengisi pendidikan di masa balita ini.
4.      Biaya sekolah tradisional dipandang mahal
d.  Kemukakan teori-teori mendukung pembelajaran dalam pendidikan
Proses pembelajaran merupakan tahapan-tahapan yang dilalui dalam mengembangkan kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik seseorang, dalam hal ini adalah kemampuan         yang harus dimiliki oleh siswa atau peserta didik. Salah satu peran yang dimiliki oleh seorang guru/tutor untuk melalui tahap-tahap ini adalah sebagai fasilitator. Untuk menjadi fasilitator yang baik guru/tutor harus berupaya dengan optimal mempersiapkan rancangan pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik anak didik, demi mencapai tujuan pembelajaran. Sebagaimana yang diungkapkan oleh E.Mulyasa (2007), bahwa tugas guru/tutor tidak hanya menyampaikan informasi kepada peserta didik, tetapi harus menjadi fasilitator yang bertugas memberikan kemudahan belajar (facilitate of learning) kepada seluruh peserta didik. Untuk mampu melakukan proses pembelajaran ini si guru harus mampu menyiapkan proses pembelajarannya.
Berikut ini kita akan membahas teori-teori belajar dan implikasinya dalam proses
pembelajaran. Diantaranya :
1. Teori Gagne
Gagne beranggapan bahwa hirarki belajar itu ada, sehingga penting bagi guru/tutor untuk menentukan urutan materi belajar yang harus diberikan. Materi-materi yang berfungsi prasyarat harus diberikan terlebih dahulu. Keberhasilan siswa belajar kemampuan yang lebih tinggi, ditentukan oleh apakah siswa itu memiliki kemampuan belajar yang lebih rendah atau tidak. Menurut Gagne ada 8 tipe belajar, yaitu:
- belajar isyarat;
- belajar stimulus respon
- belajar merangkaikan
- belajar aosisasi verbal
- belajar diskriminasi
- belajar konsep
- belajar prinsip/hukum
- belajar pemecahan masalah
Kemampuan manusia sebagai tujuan belajar menurut Gagne dibedakan menjadi 5 kategori,
yaitu : (a) keterampilan intelektual; (b) informasi verbal; (c) strategi kognitif; (d) keterampilan motorik; dan (e) sikap
Implikasi teori Gagne di dalam proses pembelajaran: Untuk mencapai hasil belajar yang demikian maka proses belajar mengajar harus memperhatikan kejadian instruksional yang meliputi (1) menarik perhatian, (2) menjelaskan tujuan, (3) mengingat kembali apa yang telah dipelajari, (4) memberikan materi pelajaran, (5) memberi bimbingan belajar, (6) memberi kesempatan, (7) memberi umpan balik tentang benar tidaknya tindakan yang dilakukan, (8) menilai hasil belajar, dan (9) mempertinggi retensi dan transfer.
2. Teori Piaget
Prinsip teori Piaget, (a) manusia tumbuh beradaptasi, dan berubah melalui perkembangan fisik, kepribadian, sosioemosional, kognitif, dan bahasa; (b) pengetahuan datang melalui tindakan; (c) perkembangan kognitif sebagian besar tergantung seberapa jauh anak aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungan. Menurut Piaget perkembangan kognitif pada anak secara garis besar sebagai berikut: (a) priode sensori motor (0-2 tahun); (b) priode praoperasional (2-7 tahun); (c) priode operasional konkrit (7-11 tahun); (d) priode operasi formal (11-15 tahun). Konsep-konsep dasar proses organisasi dan adaptasi intelektual menurut Piaget, yaitu :
·         skemata, dipandang sebagai sekumpulan konsep;
·         asimilasi, peristiwa mencocokkan informasi baru dengan informasi lama yang sudah dimiliki oleh seseorang;
·         akomodasi, terjadi apabila antara informasi baru dan lama yang semula tidak cocok kemudian dibandingkan dan disesuaikan dengan informasi lama; dan
·         equilibrium (keseimbangan), bila keseimbangan tercapai maka siswa mengenal informasi baru
Implikasi teori Piaget dalam Proses Pembelajaran, yaitu :
·         Memusatkan perhatian kepada berfikir atau proses mental anak, tidak sekedar kepada hasilnya tetapi juga prosesnya
·         Mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif sendiri, keterlibatan aktif dalam pembelajaran, penyajian pengetahuan jadi tidak mendapat tekanan
·         Memaklumi adanya perbedaan individual, maka kegiatan pembelajaran diatur dalam bentuk kelompok kecil
·         Peran guru sebagai seorang yang mempersiapkan lingkungan yang memungkinkan siswa dapat memperoleh pengalaman yang luas
3. Teori Bruner
Teori Bruner hampir serupa dengan teori Piaget, Di dalam teorinya Bruner mengemukakan bahwa perkembangan intelektual anak mengikuti 3 tahap representasi yang berurutan, yaitu:
(a) enactive representation, segala pengertian anak tergantung kepada responnya;
(b) iconic €representation, pola berfikir anak tergantung kepada organisasi visual (benda-benda yang konkrit) dan organisasi sensorisnya; dan (c) simbolic reprentation, anak telah memiliki pengertian yang utuh tentang sesuatu hal, pada priode ini anak telah mampu mengutarakan pendapatnya dengan bahasa. Berbeda dengan Piaget, Bruner memiliki pandangan yang lain tentang peranan bahasa dalam perkembangan intelektual anak. Bruner berpendapat meskipun bahasa dan pikiran berhubungan, tetapi merupakan dua sistem yang berbeda. Bahasa merupakan alat berfikir dalam yang berbentuk pikiran. Dengan kata lain proses berfikir adalah akibat bahasa dalam yang berlangsung dalam benak siswa.
Bruner juga berpendapat bahwa kesiapan adalah penguasaan keterampilan sederhana yang memungkinkan seseorang menguasai keterampilan lebih tinggi. Menurut Bruner kita tidak boleh menunggu datangnya kesiapan, tetapi harus membantu tercapainya kesiapan itu. Tugas orang  dewasalah mengajarkan kesiapan itu pada anak. Berhubungan dengan proses belajar Bruner dikenal dengan belajar penemuannya (discovery learning).
Implikasi Teori Bruner dalam proses pembelajaran adalah : (a) menghadapkan anak pada suatu situasi yang membingungkan atau suatu masalah; (b) anak akan berusaha membandingkan realita di luar dirinya dengan model mental yang telah dimilikinya; dan (c) dengan pengalamannya anak akan mencoba menyesuaikan atau mengorganisasikan kembali truktur-struktur idenya dalam rangka untuk mencapai keseimbangan di dadalam benaknya. Untuk itu siswa akan mencoba melakukan sintesis, analisis, menemukan informasi baru dan menyingkirkan informasi yang tak perlu.
4. Teori Ausubel
Ausubel berpendapat bahwa belajar penemuan itu penting, tetapi dalam beberapa situasi tidak efisien, ia lebih menekankan guru sentral, sehingga Ausubel kurang menekankan belajar aktif. Penekanannya pada ekpositorik .Ausubel menekankan pengajaran verbal yang bermakna (meaningful verbal instruction).
Menurut Ausubel, setiap ilmu mempunyai struktur konsep-konsep yang membentuk dasar sistem informasi ilmu tersebut. Semua konsep berhubungan satu sama lain (organiser). Struktur konsep dari setiap bidang dapat diidentifikasi dan diajarkan kepada semua siswa dan menjadi sitem proses informasi mereka yang disebut dengan peta intelektual. Peta intelektual ini dapat digunakan untuk menganalisa domain tertentu dan untuk memecahkan masalah-masalah yang berhubungan erat dengan aktivitas domain tersebut. Belajar adalah mencocokkan konsep dalam suatu pokok bahasan ke dalam sistem yang dimilikinya untuk kemudian menjadi milikinya dan berguna baginya.
5. Teori Vygotsky
Teori Vygotsky beranggapan bahwa pembelajaran terjadi apabila anak-anak bekerja atau belajar menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas itu masih berada dalam jangkauan kemampuannya, atau tugas-tugas itu berada dalam zone of proximal development . Zone of proximal development maksudnya adalah perkembangan kemampuan siswa sedikit di atas kemampuan yang sudah dimilikinya. Selanjunta Vygorsky lebih menekankan scaffolding , yaitu memberikan bantuan penuh kepada anak dalam tahap-tahap awal pembelajaran yang kemudian berangsur-angsur dikurangi dan memberikan kesempatan kepada anak untuk mengambil alih tanggung jawab semakin besar segera setelah ia dapat melakukannya.
6. Teori Konstruktivis
Ide-ide Piaget, Vygotsky, Bruner dan lain-lain membentuk suatu teori pembelajaran yang dikenal dengan teori konstruktivis. Ide utama teori ini adalah: (a) siswa secara aktif membangun pengetahuannya sendiri; (b) agar benar-benar dapat memahami dan dapat menerapkan pengetahuan siswa harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya sendiri; (c) belajar adalah proses membangun pengetahuan bukan penyerapan atau absorbsi; dan (d) belajar adalah proses membangun pengetahuan yang selalu diubah secara berkelanjutan melalui asimilasi dan akomodasi informasi baru. Menurut Suradijono dalam Herawati Susilo (2000), pembelajaran adalah kerja mental aktif, bukan menerima pengajaran dari guru secara pasif. Guru berperanan memberi dukungan, tantangan berfikir,melayani sebagai pelatih namun siswa tetap kunci pembelajaran.

Implikasi teori konstruktivis dalam proses pembelajaran adalah :
1.        Memusatkan perhatian kepada berfikir atau proses mental peserta didik, tidak sekedar hasilnya saja.
2.        Mengutamakan peran peserta didik dalam berinisiatif sendiri, keterlibatan aktif dalam kegiatan Pembelajaran
3.        Menekankan pembelajaran top-down mulai dari yang komplek ke sederhana, dari pada bottom-up dari yang sederhana bertahap berkembang ke komplek
4.        Menerapkan pembelajaran koperatif